SUKOHARJO, iNewsSragen.id - Seiring berkembangnya teknologi dan dinamika kehidupan sosial masyarakat, isu terorisme dan radikalisme di Indonesia masih terus menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah.
Hal itu juga menjadi pembahasan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Paradigma Kamuflase Pergerakan Kelompok Radikal' di Hotel Tosan, Solo Baru, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng), Senin (17/10/2022).
Diskusi yang diinisiasi Amir Mahmud Center bekerjasama dengan Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) ini, mengundang peserta dari kalangan kepolisian dan TNI, serta lembaga pemerintah terkait diantaranya, Kemenag dan Kesbangpol.
Kombes Ponco Ardani mewakili Brigjen Pol. Amir Prindani dari Densus 88 AT yang berhalangan hadir menyampaikan, saat ini yang patut diwaspadai oleh masyarakat dan stakeholder terkait adalah gerakan radikalisme yang dilakukan dengan cara berkamuflase.
"Kamuflase itu kan bagian dari naluri manusia maupun makhluk lain untuk bertahan hidup. Kalau di pergerakan radikal ini, berkamuflase itu tujuannya adalah untuk tetap eksis dengan faham-nya," kata Ponco.
Indikasi adanya pergerakan kelompok radikal yang berkamuflase tersebut, menurut Ponco bukan hanya sebuah dugaan semata, namun Densus 88 AT disebutkan memiliki data pendukung, bahwa pergerakan itu nyata adanya.
"Data didapat dari penangkapan kami selama lima tahun terakhir, terus data dari media sosial (medsos) yang merupakan bagian dari kamuflase mereka (kelompok radikal-Red). Mereka ini selalu memanfaatkan celah -celah untuk mengembangkan fahamnya itu," paparnya.
Oleh karenanya melalui FGD kali ini, menurut Ponco, Densus 88 AT memberi peringatan dini kepada masyarakat dan stakeholder di daerah agar meningkatkan kewaspadaan untuk mencegah berkembangnya pergerakan radikal yang berkamuflase.
"Mereka ini selalu berkamuflase, dan kita juga harus mengimbangi, mengikuti, untuk semaksimal mungkin mencegah berkembangnya faham-faham intoleran dan radikal tadi. Karena mereka selalu berubah menyesuaikan situasi," tegasnya.
Sementara, Amir Mahmud yang juga Direktur Amir Mahmud Center, mengatakan, di zaman rezim Orda Baru berkuasa, pergerakan radikal ini dikaitkan dengan penerapan Undang- Undang (UU) Subversif.
"Jadi sebenarnya (UU) Subversif ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyikapi orang -orang yang menentang pemerintah, berhubungan dengan keamanan negara. Sedangkan (UU) radikalisme di rezim sekarang, sebenarnya bukan alat untuk memukul yang menentang pemerintah. Karena istilah radikalisme ini sebenarnya ada di semua rezim," ujar Amir.
Radikalisme, dijelaskan Amir, adalah sebuah awal dari sikap aksi yang nantinya akan merubah banyak perilaku, baik perilaku bermasyarakat, termasuk perilaku dalam berbangsa dan bernegara.
"Nah, ini yang kami khawatirkan, seperti dibahas dalam pembahasan FGD. Intinya adalah dalam menanggulangi gerakan radikal yang berkamuflase ini diperlukan pendidikan. Sekarang sudah ada salah satunya melalui Kemenag dengan program moderasi beragama di tingkat sekolah," ujarnya.
Amir juga berharap adanya kurikulum tentang moderasi beragama diberlakukan perguruan tinggi. Jika di rezim Orde Baru ada penataran P4, maka sekarang juga harus ada program penggantinya.
"Karena situasi geo poltiknya sekarang berbeda. Jadi soal radikal ini di jaman Orde Baru juga sudah ada, contohnya seperti penangkapan tokoh penandatangan Petisi 50. Kemudian kasus pengeboman Candi Borobudur, itu masuk UU Subversif tapi diawali adanya faham radikal tadi," tegasnya.
Selain menghadirkan pembicara dari Densus 88 AT, FGD kali ini juga menghadirkan narasumber Saifudin Umar alias Abu Fida, eks napiter yang pernah menjadi sosok penting dalam dunia terorisme di Indonesia. Ia pernah di Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII).
Menjawab pertanyaan salah satu peserta FGD tentang awal mula keterlibatannya dalam jaringan terorisme, ia mengatakan, bermula dari kesukaannya membaca buku -buku tentang ilmu agama.
Ia banyak membaca buku-buku literasi diantaranya karya pengarang Muslim, mulai Abu Al-Maududi, Said Hawwa, hingga Hasan. Hobi membaca buku itu makin memuncak hingga memasuki tahun akhir dirinya menempuh pendidikan di Pondok Gontor.
"Dari membaca buku dan pergaulan itu, membawa saya ke pola pemikiran yang sejalan dengan DI dan NII hingga sampai menempuh pendidikan agama di Suriah, melanjutkan di Yordania, Pakistan, dan terakhir di Arab Saudi," pungkas pria kelahiran Surabaya yang pernah mengabdi di Ponpes Al Mukmin Ngruki ini.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait