SUKOHARJO, iNewsSragen.id - Proses hukum dugaan pencabulan di Sukoharjo yang dilakukan seorang ayah terhadap anak kandung mendapat perhatian penuh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Komisioner KPAI 2022-2027 sekaligus Founder Sahabat Kapas, Dian Sasmita mengungkapkan, kasus dugaan pencabulan ayah terhadap anak kandung hingga melahirkan seorang bayi tersebut telah masuk dalam aduan ke pihaknya.
“Sudah masuk ke pengaduan KPAI, kami sudah melakukan telaah dengan koordinasi dengan penyedia layanan atau UPTD setempat terkait pemenuhan hak anaknya,” kata Dian saat dihubungi awak media beberapa waktu lalu.
Dalam kasus itu, ia menegaskan bahwa KPAI selalu mendorong aparat penegak hukum (APH) atau polisi untuk melaksanakan atau memproses kasus kekerasan seksual secara profesional dan berkeadilan pada korban.
"Profesionalitas itu mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah mengatur hak-hak korban terkait proses hukum. Dalam UU TPKS, salah satu hak korban yang diatur yakni, mendapat informasi perkembangan kasus," terangnya.
Selain, menurutnya, korban juga berhak mendapat bantuan hukum dan pendampingan psikososial dan rehabilitasi psikis. Termasuk ketika korban yang sudah memiliki anak hasil hubungan dengan ayah kandungnya, tidak hanya pendampingan psikis tetapi juga rehabilitasi sosial.
Menanggapi terkait lamanya proses penanganan kasus tersebut, Dian mengatakan, perlu digali penyebabnya. Apakah ada hambatan keadilan dalam bukti atau upaya lainnya.
“Kami pikir dalam proses perjalanannya, perlu ditelaah lebih lanjut. Kami KPAI memberikan atensi untuk kasus ini. Dalam proses hukumnya, (Polisi) dapat mengunakan UU Perlindungan Anak mengingat pada UU PA sudah jelas diatur terkait pelanggaran hak anak," tegasnya.
Ketika UU PA belum mengatur pelanggaran tersebut Dian menyarankan APH menggunakan UU TPKS. Sebab dalam hukum acara UU TPKS, keterangan saksi korban sudah bisa menjadi sebuah alat bukti.
"Bahkan dalam UU TPKS Pasal 25, sudah ditegaskan alat bukti apa saja yang harus digunakan untuk kasus kekerasan seksual," terangnya.
Selain itu visum et repertum dan visum et repertum psikiatrikum dalam UU TPKS juga sudah bisa menjadi alat bukti. Sementara dalam hukum pidana satu alat bukti dianggap tidak sah, sehingga harus membutuhkan dua alat bukti.
"Apalagi kekerasan seksual jarang sekali dilakukan di ruang publik, justru terbanyak dilakukan di ruang domestik. Sehingga ada keterbatasan kehadiran saksi lainnya selain korban. Maka UU TPKS hadir untuk menerobos hambatan itu agar kasus kekerasan seksual dapat ditangani segera," tegasnya.
Ia juga menjelaskan di dalam kasus kekerasan seksual UU TPKS maupun UU PA memberikan pemberatan hukuman jika dilakukan oleh orang tua. UU TPKS juga memberikan jaminan hak restitusi kepada korban yang harus disampaikan ke korban oleh APH baik dari penyidik, jaksa penuntut hingga hakim.
Menurutnya hal itu akan dibantu oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terkait perhitungan restitusi, hal itu untuk mengganti kerugian yang sudah dialami korban.
“Ini harus segera diproses, pemerintah daerah punya kewajiban secara serius menyediakan tenaga-tenaga berkompeten untuk melakukan pendampingan mendukung rehabilitasinya,” imbuh Dian.
Seperti diketahui, seorang perempuan inisial G (21) warga Sukoharjo telah melapor ke Polres Sukoharjo sejak 2021 atas perbuatan bejat ayahnya hingga membuat dirinya hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki pada 2017 silam. G hingga kini masih mengalami trauma.
Terpisah, Badrus Zaman selaku kuasa hukum G, saat dikonfirmasi terkait perkembangan tindak lanjut laporan mengatakan, hingga kini polisi belum menetapkan SW (58) sebagai tersangka pencabulan dengan korban anak kandungnya sendiri yaitu G. Peristiwa itu terjadi saat G masih berumur sekira 15 tahun.
"Kami sudah menyerahkan ke penyidik bukti salinan surat dari rumah sakit tempat G melahirkan anaknya. Dengan bukti baru itu mestinya terlapor bisa segera di tahan. Kami menilai bukti yang ada sudah cukup untuk menjerat terlapor sebagai tersangka," kata Badrus pada, Minggu (4/6/2023).
Badrus berharap, Polres Sukoharjo dapat berlaku profesional dan tidak perlu ragu dalam menangani perkara ini mengingat terlapor adalah orang yang paham akan hukum.
"Sejak kasus ini dilaporkan pada 2021, belum ada perkembangan yang signifikan. Padahal semua sudah jelas, ada pelapor, terlapor, barang bukti, yaitu anak yang dilahirkan, juga ada surat dari rumah sakit. Kalau terlapor tidak mau tes DNA dijadikan alasan, terus sampai kapan akan selesai," ujarnya.
Editor : Sugiyanto
Artikel Terkait