SRAGEN, iNewsSragen.id - Manuskrip ini dinamakan Serat Anbiya Pelemgadung karena ditemukan di Masjid At Tawwabun Dukuh Pondok RT 11/ RW 5 Desa Pelemgadung, Kecamatan Karangmalang, Sragen, Jawa Tengah. Manuskrip tersebut sudah tidak dijumpai lagi halaman judul. Penamaan judul diberikan oleh Tim Penyusun PPKD Kabupaten Sragen Tahun 2019 yakni Serat Anbiya Pelemgadung.
Penamaan ini berdasarkan isi dari naskah tersebut yang memuat kisah para nabi (An Biya). Naskah ini tergolong dalam karya sastra yang ditulis dalam format prosa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa beserta dialeknya, dan ada yang berupa tembang macapat. Namun teks dituliskan dalam aksara Arab pegon dengan harokat yang tidak lengkap.
Naskah ini memuat kisah para nabi dimulai dari Nabi Adam dan hanya sampai pada kisah Nabi Sulaiman. Namun, alur cerita tentang Nabi Adam dan Nabi Sulaiman ini pun tidak lengkap. Selain kisah para nabi, terdapat beberapa cerita penting seperti kisah Habil dan Qabil, dan Nabi Sis.
Secara fisik, naskah mempunyai ukuran panjang 41 cm x lebar 33,7 cm x tebal 2,5 cm, dan banyak kerusakan. Lembar teks banyak yang hilang di bagian awal dan akhir naskah. Sudah tidak terdapat kover depan maupun belakang, kemungkinan rusak dan hilang.
Teks dituliskan dengan menggunakan tinta warna merah dan hitam. Jika dihitung terdiri 156 lembar dengan 314 nomor halaman dan dijilid dengan menggunakan benang. Penomoran halaman menggunakan angka arab pegon dicantumkan di pojok kiri dan kanan bagian atas. Lembar pertama atau halaman muka ke-1 dimulai dengan penomoran halaman 56 dan berakhir pada angka halaman bernomor 314.
Seluruh teks dalam naskah Serat Anbiya ditulistangan di atas kertas daluwang dengan tinta hitam dan terdapat iluminasi simbolik yang memisahkan antar kalimat. Aksara yang digunakan adalah arab-pegon dan memakai bahasa Jawa Ngoko berbentuk prosa. Di samping itu ada pula teks bahasa Jawa (berhuruf arab pegon) yang ditulis dalam tembang macapat.
Penulis serat Anbiya Pelemgadung tampak berupaya menyusun naskah secara rapi dan teratur. Terdapat garis merah yang berfungsi sebagai batas tepi tulisan yang menandakan kerapian dalam menulis dan konsistensi kelurusan penulisan kalimat.
Mesikpun demikian, terdapat beberapa penulisan dengan menggunakan huruf atau syakal (penanda baca) yang tidak konsisten. Ketidak konsistenan ini ternyata akibat dari kalimat yang harus menyesuaikan guru gatra dalam tembang Jawa. Seperti ada kalimat koyota menjadi yata yang artinya sama dengan ‘’yaitu’’, ‘’seperti’’.
Hal yang disayangkan adalah kondisi manuskrip sudah rapuh dan tidak utuh. Kertas jenis daluwang yang digunakan berkualitas kurang baik. Rendahnya kualitas kertas ditunjukkan dengan kondisi naskah yang mudah sekali sobek ketika dipegang padahal baru berumur sekitar 100 tahun.
Banyak lembaran teks yang sudah hilang maupun rusak berlubang karena dimakan rayap, termasuk bagian kover dan judul sudah tak ditemukan lagi (lepas/ hilang). Halaman muka ke-1 pada lembar pertama naskah ini langsung dimulai dengan halaman bernomor 56 angka Arab-Pegon yang menceritakan Qabil dan Habil
Pada halaman muka ke-5 (tanpa nomor halaman) berisikan surat perjanjianpenyewaan rumah dan tanah antara Muhammad Sarbini kepada Muhammad Ngulama’. Di atas surat perjanjian terdapat angka tahun 1837 Jim Awal (arab pegon) jika dikonversi dalam tahun masehi maka berangka tahun 1907M.
Pada halaman muka ke-7 (nomor halaman 60 angka arab pegon) pertengahan teks terdapat kalimat jenis tembang.Untuk membedakan dengan teks lainnya, di awal kalimat tembang terdapat iluminasi menggunakan tinta warna merah sebagai penanda.
Manuskrip di temukan di Dukuh Pondok, Desa Pelemgadung, Kecamatan Karangalang, Sragen.Foto:iNews/Joko P
Gambar 3. Cuplikan naskah Pelemgadung nomor halaman 60
Setelah tanda merah jika dilatinkan berbunyi pupuh asmarandana, yang berada pada halaman muka ke-7 atau halaman bernomor 60 dengan angka Arab Pegon.
Begitu pula bagian akhir naskah juga banyak lembar yang hilang karena kisah terhenti pada kehidupan Nabi Sulaiman, dengan cerita yang terpenggal pula. Keseluruhan dari naskah ini mempunyai dirosah atau pembelajaran bahwa setiap nabi mempunyai tantangan sendiri dalam menghadapi umatnya.
Mereka berjuang dalam mengimankan umatnya ke dalam jalan Tauhid. Pada setiap tantangan itu para nabi mampu mempertahankan keimanannya walaupun harus siap dengan segala resiko. Kisah dari para nabi ini bisa dijadikan pembelajaran, terutama teladan mengenai perilaku, sikap, dan cara para Nabi menghadapi umat yang taat maupun yang menentang.
penulis: Bidang Kebudayaan Disdikbud Sragen
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait