BLITAR, iNewsSragen.id – Tragedi mencekam terjadi tiga hari setelah munculnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Saat itu sejumlah perwira militer diculik, termasuk 15 menteri Presiden Soekarno. Ya, sehari setelah menerima Supersemar atau Surat Perintah 11 Maret 1966, Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto langsung membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta seluruh organisasi yang berafiliasi di dalamnya.
Langkah pembubaran PKI oleh Soeharto dibarengi dengan gerakan show of force atau pamer kekuatan militer Angkatan Darat (AD). Pasukan KOSTRAD yang terdiri atas Brigade Para III KOSTRAD Yon (batalyon) 314, Yon 315 Siliwangi, Yon Raiders Kujang 328, Yon Infantri 527 Brawijaya, Brigade Kavaleri KOSTRAD, Yon Artileri KOSTRAD dan Penerbad, dikerahkan.
“Pameran kekuatan itu bertujuan untuk membungkam Soekarno supaya tidak bereaksi terhadap pembubaran PKI,” demikian dikutip dari buku Naiknya Para Jenderal (2000).
Terbitnya Supersemar membuat Presiden Soekarno lumpuh secara politik. Dengan langkah cepat dan sekaligus sistematis, seluruh kekuatan politik di sekeliling Bung Karno dipreteli.
Tiga hari setelah PKI dibubarkan, yakni 16 Maret 1966 tiba-tiba muncul gerakan penculikan yang dilakukan sejumlah pelajar yang tergabung dalam KAPPI dan mahasiswa dalam Laskar Arif Rahman Hakim.
Mereka menculik Ketua DPRGR I Gusti Gede Subamia, Menteri Kehakiman Astra Winata, Menteri Negara yang juga Sekjen Front Nasional Sudibjo dan Menteri Koordinator Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Prijono. Oei Tjoe Tat (Menteri Negara) dan Jusuf Muda Dalam (Menteri Bank Sentral dan Gubernur Bank Indonesia) yang juga termasuk dalam daftar yang harus diculik, sempat berhasil meloloskan diri.
“Mereka yang diculik kemudian diserahkan ke Markas KOSTRAD”. Dalam waktu dua hari itu, yakni 16-17 Maret 1966 KAMI dan KAPPI terus melakukan aksi demonstrasi.
Dalam aksinya massa meneriakkan desakan kepada Soeharto untuk segera mempercepat langkah. Atas desakan massa, pada 18 Maret 1966, Soeharto menerbitkan Surat Perintah No 5/1966 yang intinya menangkap para menteri pemerintahan Soekarno.
Daftar menteri yang harus diringkus ada 15 orang, termasuk di antaranya Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Luar Negeri Subandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh. Semuanya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Menteri Irigasi dan Pembangunan Masyarakat Desa Surachman berhasil meloloskan diri. Surachman yang melakukan perlawanan tewas dalam operasi Trisula ABRI di Blitar Selatan Jawa Timur tahun 1968.
Selain jajaran menteri, penangkapan juga dilakukan kepada sejumlah perwira tinggi militer yang dinilai dekat dengan Bung Karno, di antaranya Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, pengganti Jenderal Ahmad Yani. Kemudian juga Mayor Jenderal Mursjid dan Brigadir Jenderal Suadi.
Sebagaimana Pranoto, Mursjid pernah dipilih Bung Karno untuk menggantikan kedudukan Jenderal A Yani. Sedangkan Suadi merupakan orang yang melapor kepada Bung Karno tentang adanya pasukan RPKAD yang mengepung Istana Negara sebelum sidang Kabinet 11 Maret 1966 digelar.
Soeharto yang didukung Jenderal A.H Nasution telah menyiapkan kekuatan sekaligus langkah-langkah yang matang.
Di lapangan, sejumlah perwira tinggi militer AD terus menjaga komunikasinya dengan jaringan mahasiswa. Mereka di antaranya adalah Kepala Staf KOSTRAD Brigadir Jenderal Kemal Idris, Panglima Siliwangi Dharsono dan Komandan RPKAD Sarwo Edhie.
Kemudian Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta A.J Witono dan Letnan Kolonel Urip Widodo dari Komando Daerah Militer Jakarta.
Sebagai pukulan terakhir terhadap kekuasaan politik Bung Karno, Jenderal Nasution didukung Soeharto untuk diangkat menjadi Ketua MPRS pada Juli 1966. Kemudian melalui ketetapan No XIII/MPRS/1966, MPRS menugaskan Soeharto selaku pengemban Supersemar membentuk Kabinet Ampera yang menggantikan Kabinet Dwikora. Tamat sudah kekuasaan politik Bung Karno yang pernah ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup.
Artikel ini telah tayang di jatim.inews.id dengan judul " Kisah Supersemar yang Mencekam, 15 Menteri Bung Karno dan Perwira Militer Ditangkap ".
Editor : Joko Piroso