JAKARTA, iNews.id - Mengapa keturunan China atau Tionghoa tidak diizinkan memiliki tanah di Yogyakarta menjadi topik menarik untuk dibahas ulang.
Aturan larangan tersebut dianggap diskriminatif dan memperpetuasi politik identitas rasial terhadap warga keturunan Tionghoa.
Kezia Dewi, seorang peneliti sejarah permukiman Tionghoa di Indonesia, telah mengungkapkan perbedaan-perbedaan yang ada. Ini penting karena sekitar 3 juta orang keturunan Tionghoa tinggal di Indonesia.
"Dalam penelitian tentang permukiman Tionghoa di Indonesia, mayoritas berfokus pada sejarah Pecinan yang tersebar di seluruh Indonesia dan upaya konservasinya," kata Kezia Dewi seperti dilansir SCMP.
Lalu mengapa keturunan Tionghoa tidak diizinkan memiliki tanah di Yogyakarta berdasarkan Instruksi Wagub DIY 1975, atau Instruksi 898/1975? Instruksi ini adalah sebuah surat instruksi yang dikeluarkan oleh Paku Alam VIII yang melarang warga non-pribumi, termasuk "Europeanen" (orang Eropa/kulit putih) dan "Vreemde Oosterlingen" (orang Timur Asing) seperti Tionghoa, Arab, India, serta orang non-Eropa lainnya, untuk memiliki kepemilikan tanah di DIY. Mereka hanya diizinkan memiliki hak guna atas tanah tersebut.
Selain itu, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki karakteristik istimewa, termasuk dalam sistem pemerintahannya, dan tampaknya memiliki pandangan yang berbeda mengenai status kewarganegaraan individu.
Bukti menunjukkan bahwa pejabat di Yogyakarta mempercayai ada dua jenis warga negara Indonesia: "asli" dan "non-pribumi". Bergantung pada klasifikasi hukum, kelompok Anda mungkin tidak diizinkan memiliki tanah yang telah dibeli.
Pemerintah setempat menyatakan bahwa warga Indonesia "asli" memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan tanah yang telah mereka beli. Namun, jika Anda diklasifikasikan sebagai "non-pribumi", Anda hanya diizinkan untuk membangun di atas tanah tersebut, sementara kepemilikan properti itu sendiri akan dialihkan kepada pemerintah.
Jika Anda ingin menggunakan tanah untuk tujuan tertentu, warga non-pribumi akan diminta membayar sewa kepada pemerintah daerah.
Editor : Sazili Mustofa