KARANGANYAR, iNewsSragen.id - Candi Cetho memang merupakan salah satu situs bersejarah yang penting di Indonesia. Candi Cetho memiliki nilai sejarah dan arsitektur yang menarik, serta telah menjadi tujuan wisata yang populer.
Dikutip dari website resmi Pemkab Karanganyar, Candi Cetho terletak di kaki Gunung Lawu, dan memiliki corak Hindu. Sebagai peninggalan dari masa Kerajaan Majapahit, candi ini memiliki nilai historis yang tinggi. Prasasti yang ada di dinding gapura mengindikasikan bahwa candi ini selesai dibangun sekitar tahun 1475 Masehi dan dimulai pada tahun 1451 Masehi. Pada tahun 1842, Van de Vles membuat catatan ilmiah tentang Candi Cetho, dan sejak itu, berbagai sejarahwan dan ahli, termasuk A.J. Bennet Kempers, K.C. Crucq, W.F. Sutterheim, N.J. Krom, dan Riboet Darmosoetopo, telah melakukan penelitian terhadap situs ini.
Penggalian untuk rekonstruksi Candi Cetho pertama kali dilakukan pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindu Belanda (Commissie vor Oudheiddienst). Keunikan arsitektur Candi Cetho menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang ingin melihat perbedaan dengan candi-candi Hindu di Jawa pada umumnya. Kehadiran situs bersejarah seperti Candi Cetho tidak hanya memberikan wawasan tentang sejarah dan budaya masa lampau, tetapi juga memberikan nilai penting dalam industri pariwisata di daerah tersebut.
Bagi mereka yang tertarik dengan sejarah, arsitektur, dan budaya Indonesia, Candi Cetho adalah salah satu tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi. Keberadaannya mengingatkan kita akan keragaman warisan budaya yang kaya di Nusantara.
Wisatawan asal Thailand berpose dengan latar Candi Cetho (Foto: IG/@poom_2365)
1.Salah satu candi tertinggi di Indonesia
Fakta bahwa Candi Cetho merupakan salah satu candi tertinggi di Indonesia menambahkan dimensi menarik lainnya pada situs bersejarah ini. Letaknya yang berada di ketinggian 1.496 meter di atas permukaan laut di kaki Gunung Lawu memberikan pengalaman yang unik bagi para pengunjung, karena pemandangan yang bisa dinikmati dari tempat tersebut tentu akan luar biasa.
Nama "Cetho" yang diambil dari nama dusun tempat candi ini berada, dengan arti "jelas" dalam bahasa Jawa, tampaknya cocok menggambarkan bagaimana dari ketinggian tersebut, pemandangan di sekitarnya bisa terlihat dengan sangat jelas. Menyaksikan Kota Karanganyar, Solo, dan rangkaian pegunungan yang mengelilingi area tersebut pasti memberikan pengalaman yang memukau.
Pemandangan alam yang memukau, ditambah dengan keberadaan candi bersejarah yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi, menjadikan Candi Cetho sebagai tujuan wisata yang menarik bagi berbagai jenis pengunjung, baik mereka yang mencari pengetahuan sejarah, keindahan alam, atau pengalaman spiritual. Semua elemen ini berdampak positif pada pengenalan dan pelestarian warisan budaya Nusantara.
2. Arsitektur unik
Candi Cetho (Foto: IG/@havisd_)
Fakta bahwa Candi Cetho memiliki struktur berteras-teras yang mengundang dugaan tentang sinkretisme kultur asli Nusantara dengan Hinduisme adalah hal yang menarik. Dugaan ini bisa dipahami melalui bentuk relief yang menyerupai wayang kulit dengan wajah tampak samping, yang memiliki keterkaitan dengan budaya asli Indonesia. Sejarah budaya Indonesia yang kaya memungkinkan untuk adanya pengaruh dan penyatuan elemen-elemen dari berbagai aspek kehidupan dan kepercayaan.
Penting juga untuk diingat bahwa arkeologi dan penelitian sejarah sering kali melibatkan interpretasi kompleks. Fakta bahwa relief dan patung di Candi Cetho tidak sepenuhnya mirip dengan gambaran tradisional orang Jawa atau bangsa lainnya menambahkan lapisan misteri terhadap situs ini. Kemungkinan adanya pengaruh budaya lain, seperti Sumeria atau Romawi, dalam seni dan arsitektur kuno Indonesia dapat memicu berbagai hipotesis yang menarik.
Pendugaan bahwa Candi Cetho mungkin ada sebelum masa Kerajaan Majapahit karena material yang digunakan dan keberbedaan relief dengan gaya Majapahit juga memberikan bukti bahwa peradaban dan kepercayaan kuno di Nusantara adalah warisan yang sangat beragam dan kompleks.
Penting untuk terus melakukan penelitian, penggalian, dan pemahaman lebih lanjut terhadap situs-situs seperti Candi Cetho guna mengungkap lebih banyak rahasia dan makna di baliknya, serta untuk merawat warisan budaya kita yang berharga.
3.Tempat bertapa
Candi Cetho (Foto: IG/@havisd_)
Candi Cetho sebagai tempat pertapaan bagi penganut kepercayaan asli Jawa atau Kejawen menambah lapisan penting dalam pemahaman kita tentang makna dan tujuan dari situs bersejarah ini.
Fungsi pertapaan atau tempat retret spiritual merupakan hal yang umum dalam berbagai budaya dan kepercayaan. Candi Cetho kemungkinan besar berperan sebagai tempat untuk beribadah, meditasi, dan merenung bagi penganut kepercayaan asli Jawa. Kehadiran prasasti dengan aksara Jawa pada dinding juga memberikan bukti konkret mengenai tujuan dan makna dari tempat ini.
Fakta bahwa candi ini digunakan sebagai tempat peruwatan atau melepaskan diri dari kutukan menunjukkan bahwa tempat ini memiliki makna spiritual yang mendalam. Orang-orang mungkin datang ke Candi Cetho untuk mencari penyembuhan fisik, emosional, atau rohaniah, serta mencari perlindungan dari kutukan atau masalah lainnya.
Penting untuk menghormati dan memahami keragaman kepercayaan dan praktik spiritual di masyarakat. Candi Cetho sebagai tempat pertapaan Kejawen juga mencerminkan pentingnya situs-situs bersejarah dalam membantu kita menjelajahi akar budaya dan spiritualitas yang kaya di Nusantara.
4. Mitos arca Candi Cetho
Simbolisme yang menggambarkan cerita Samudramanthana dan Garudeya, yang berkaitan dengan kutukan dan pembebasannya, mengaitkan Candi Cetho dengan narasi mitologis yang memiliki nilai penting dalam budaya Hindu dan mungkin juga dalam kepercayaan asli Jawa. Cerita Samudramanthana menggambarkan kisah tentang pengadukan Samudra Lautan Susu untuk mendapatkan amrita, sumber keabadian, sementara Garudeya adalah kisah tentang Garuda yang harus menghadapi kutukan dan kemudian membebaskannya. Penghadiran simbol-simbol ini di Candi Cetho dapat menjadi sarana untuk mengkomunikasikan pesan-pesan spiritual, moral, atau filosofis kepada para pengunjung.
Arca phallus dan vagina yang Anda sebutkan juga memiliki makna mendalam yang terkait dengan penciptaan dan lahir kembali, serta dapat diinterpretasikan dalam konteks spiritual dan kosmologis. Simbolisme ini sering ditemukan dalam berbagai budaya dan kepercayaan sebagai representasi dari siklus kehidupan, kelahiran kembali, dan keabadian.
Interpretasi simbol-simbol ini menambahkan dimensi spiritual dan filosofis pada Candi Cetho, mengilustrasikan konsep-konsep yang mungkin diajarkan atau dipercayai oleh masyarakat pada masa itu. Penting untuk diingat bahwa interpretasi simbol-simbol seperti ini dapat bervariasi dan tergantung pada sudut pandang dan penelitian yang dilakukan oleh para ahli dan sejarahwan.
5. Kain Poleng
Penggunaan kain poleng dengan motif kotak-kotak yang berwarna catur (hitam dan putih) memiliki signifikansi spiritual dalam konteks kepercayaan Hindu. Motif ini sering kali terkait dengan konsep dualitas atau keseimbangan dalam kehidupan dan alam semesta. Penggunaan kain poleng ini di Candi Cetho, menunjukkan pentingnya situs ini sebagai tempat peribadatan bagi umat Hindu dan menghormati nilai-nilai keagamaan yang terkait.
Penggunaan kain poleng dan peraturan untuk memakainya juga menjadi contoh penting tentang bagaimana wisatawan diharapkan untuk menghormati budaya dan tradisi tempat yang mereka kunjungi. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap praktik dan nilai-nilai lokal serta cara untuk menciptakan pengalaman kunjungan yang bermakna dan menghargai kepercayaan dan budaya masyarakat setempat.
Tentang dugaan bahwa Candi Cetho mungkin ada sebelum masa Kerajaan Majapahit, ini adalah bagian menarik dalam penelitian arkeologi dan sejarah. Kemungkinan pengaruh dan perubahan arsitektur dalam berbagai periode waktu dapat memberikan gambaran yang lebih kaya tentang evolusi budaya dan kepercayaan di daerah tersebut. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya sejarah dan warisan budaya Indonesia yang memperkaya pemahaman kita tentang perkembangan peradaban di Nusantara.
Editor : Joko Piroso