get app
inews
Aa Text
Read Next : Ungkap Peredaran Narkoba di Solo, Polisi: Kurirnya Driver Ojol Asal Sleman

Perjanjian Giyanti, Pembagian Pusaka Kesultanan Mataram ke Surakarta dan Yogyakarta

Senin, 06 Mei 2024 | 08:08 WIB
header img
Abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Solo membawa gamelan sekaten Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur. Foto/Istimewa

SOLO, iNewsSragen.id - Perjanjian Giyanti, yang disepakati pada tahun 1755, merupakan momen penting dalam sejarah Jawa karena menjadi titik pembagian Kesultanan Mataram menjadi dua entitas: Surakarta dan Yogyakarta.

Perjanjian ini bukan hanya memisahkan wilayah dan otoritas, tetapi juga mempengaruhi warisan budaya, termasuk pembagian benda pusaka keraton, salah satunya adalah gamelan.

Gamelan adalah alat musik tradisional yang memiliki makna spiritual dan simbolis yang mendalam dalam kebudayaan Jawa. Sebelum Perjanjian Giyanti, gamelan di Keraton Mataram terdiri dari satu pasang.

Hal itu sebagaimana dikutip dari "Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun sekitar 1779 - 1810".

Namun, setelah pembagian, satu pasang gamelan tersebut harus dibagi dua, dengan Surakarta mendapatkan gamelan Kiai Guntursari dan Yogyakarta mendapatkan gamelan Kiai Gunturmadu, atau Kiai Sekati.

Setelah perjanjian, masing-masing wilayah mulai mengisi kembali perangkat gamelan mereka.

Pendopo di Pandak Karangnongko, Sukowati (yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Sragen), untuk dibawa ke Keraton Yogyakarta.Foto:iNews/Joko P

Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta, misalnya, memerintahkan pembuatan gamelan Kiai Nogowilogo, dengan bantuan Raden Ronggo Prawirodirjo I, yang mencampurkan pamor prambanan dalam proses pembuatannya untuk meningkatkan kualitas gamelan tersebut.

Raden Ronggo Prawirodirjo I adalah tokoh yang memainkan peran penting dalam pengembangan Keraton Yogyakarta. Ia menyumbangkan pendopo rumahnya di Pandak Karangnongko, Sukowati (yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Sragen), untuk dibawa ke Keraton Yogyakarta.

Pendopo ini dikenal sebagai Bangsal Kamandhungan, salah satu bangunan tertua di Keraton Yogyakarta, dan memiliki nilai sejarah karena pendopo ini sudah ada sebelum bangunan pendukung lainnya didirikan.

Raden Ronggo Prawirodirjo III, cucu dari Raden Ronggo Prawirodirjo I, menghabiskan masa kecilnya di lingkungan keraton, di tengah-tengah warisan yang ditinggalkan oleh kakeknya dari pihak ibu dan sumbangan besar dari kakeknya dari pihak ayah.

Sebagai keturunan bangsawan Jawa yang signifikan, ia terpapar pada kekayaan budaya dan tradisi Jawa, yang mencerminkan hubungan erat antara sejarah, politik, dan budaya yang terjadi akibat Perjanjian Giyanti dan perkembangan Kesultanan Mataram setelahnya.

Editor : Joko Piroso

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut