SUKOHARJO,iNewsSragen.id - Banyaknya aturan yang berubah terkait perizinan berusaha berbasis risiko seiring disahkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, rupanya belum semua aparatur pemerintah desa memahami.
Hal itu diketahui dari kegiatan sosialisasi perizinan berusaha berbasis risiko dan klinik laporan kegiatan penanaman modal yang diselenggarakan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Sukoharjo di Hotel Mercure, Solo Baru, Grogol, Rabu (28/8/2024).
Beberapa Kepala Desa (Kades) dari 75 orang yang diundang dalam kegiatan itu mengajukan pertanyaan seputar penerapan aturan perizinan berusaha yang mana sejak diberlakukannya Online Single Submission (OSS), tidak lagi dilibatkan atau bahkan juga tidak mengetahui ketika ada tempat usaha berdiri di wilayahnya.
"Sosialisasi ini memang belum pernah sama sekali mengundang Kades. Jadi, selama ini baru mengundang pelaku usaha atau masyarakat awam. Terus kami melihat bahwa perangkat desa ini adalah ujung terdepan dari pemerintah, maka baru kali ini diundang," ungkap Kepala DPMPTSP Sukoharjo, Djoko Poernomo.
Menurutnya, kedudukan perangkat desa sangat strategis untuk membantu program - program yang dijalankan oleh DPMPTSP terkait sosialisasi perizinan. Paling tidak jika ada pertanyaan dari warganya para Kades dapat memberi penjelasan.
"Dengan apa yang kami sampaikan hari ini, paling tidak mereka (Kades) tahu tentang perizinan, tidak seperti yang banyak dikeluhkan bahwa sekarang mengurus perizinan itu sulit dan lama. Sebenarnya malah tidak, karena sudah ada OSS itu dari pemerintah pusat," papar Djoko.
Diakui Djoko, ketika masih menggunakan aturan lama sebelum UU Cipta Kerja diberlakukan, perizinan berusaha berbasis risiko melibatkan peran serta aparatur pemerintahan daerah secara berjenjang hingga ke tingkat desa.
"Oleh pemerintah pusat, proses mengurus perizinan seperti itu kemudian dievaluasi karena dinilai sebagai birokrasi yang tidak efisien, tidak ramah bagi investor. Sebelumnya kan banyak keluhan dari investor bahwa perizinan di Indonesia itu memang rumit," paparnya.
Disisi lain, imbas dari pemberlakuan aturan baru tersebut juga berdampak besar di internal pemerintahan desa karena sering terjadi konflik antara pengusaha dengan warga desa. Lebih runyam lagi ketika ada pelaku usaha yang tidak punya itikad baik.
"Ketika ada usaha yang berdiri, kemudian ada komplain saat pembangunan, atau ketika proses produksi menimbulkan pencemaran karena limbahnya, terus ada gangguan keamanan, itu komplainnya kan kepada pak Kades," ungkap Djoko.
Dari sosialisasi tersebut, para Kades diberi pemahamanan dan pengarahan jika nanti mendapat komplain atau keluhan warga perihal tempat usaha atau gangguan pembangunan, maka diminta melapor ke dinas atau instansi terkait.
"Nanti dari laporan itu akan kami cek, mulai dari izinnya. Apakah komitmen dari pengusaha ditempat itu sudah terpenuhi. Kalau belum punya izin maka kami minta segera mengurus izinnya. Kalau sudah diarahkan belum juga patuh, baru nanti ada tindakan represif dari bidang penegakan Perda yang turun," tegasnya.
Ditambahkan Djoko, sosialisasi terhadap Kades se Kabupaten Sukoharjo dilaksanakan dalam dua tahap selama 2 hari, Rabu-Kamis (28-29/8/2024). Untuk tahap pertama mengundang 75 Kades disusul tahap kedua juga 75 Kades. Total ada 150 Kades dan 17 Lurah di Kabupaten Sukoharjo.
Editor : Joko Piroso