SUKOHARJO,iNewsSragen.id - Jika selama ini pertunjukkan atau pentas kesenian wayang kulit selalu mendasarkan cerita dari Mahabarata dan Ramayana, kali ini warga Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, dipelopori tokoh masyarakat KRT. Djuyamto Rekso Pradoto, menggelar wayang kulit dengan cerita sejarah 'Babad Kartasura'. Tempat pertunjukkan di depan tembok bekas benteng Keraton Kartasura pada, Sabtu (2/11/2024) malam hingga Minggu (3/11/2024) dinihari.
Terobosan didunia seni pagelaran wayang kulit itu dibuat khusus dengan seluruh karakter tokoh dibuat baru, diantaranya figur Untung Suropati dengan warna busana merah dengan alur cerita berdasarkan referensi buku sejarah tentang Keraton Kartasura. Termasuk pergolakan geger pecinan hingga penggempuran tembok benteng keraton di jaman itu.
Selaku inisiator, Djuyamto mengungkapkan bahwa pentas perdana wayang kulit dengan cerita Babad Kartasura dimaksudkan sebagai sarana edukasi melalui visual tentang sejarah, sekaligus juga bertujuan melestarikan kesenian tradisional warisan para leluhur.
"Pertama, seni pertunjukkan wayang kulit itu kan didalamnya ada seni musik, seni suara, ada seni lukis (karakter tokoh wayang), dan bahkan juga ada seni pedalangan. Itu harus terus dilestarikan. Dalam seni pertunjukkan, apapun jenisnya harus diciptakan pula sebuah ekosistem," kata Djuyamto.
Ekosistem yang dimaksud adalah, bahwa sebuah seni pertunjukkan akan hidup tidak bisa hanya bergantung pada para pelaku seninya saja. Didalamnya juga harus ada penonton dan penggemar agar tercipta interaksi dan apresiasi.
"Misalnya, seni karawitan kalau tidak ada yang 'nanggap' (mengundang pentas-Red), tidak ada penggemarnya, tidak ada penikmat yang menonton, maka akan mati juga. Makanya dari pemikiran seperti itu harus ada kreasi dalam seni pertunjukkan wayang kulit agar selalu terbarukan, terutama untuk (penonton) generasi milenial. Seni pertunjukkan wayang kulit ini perlu terus dilestarikan," paparnya.
Selanjutnya yang kedua perihal gagasan mengangkat cerita Babad Kartasura melalui wayang kulit, Djuyamto memaparkan bahwa tujuannya adalah untuk menjaga otentifikasi sejarah. Terutama tentang sejarah berdirinya Keraton Kartasura, tentang kejayaan hingga kehancurannya.
"Otentifikasi sejarah Keraton Kartasura ini perlu dijaga melalui literasi secara visual. Karena kalau kita belajar sejarah hanya dari literasi membaca buku, itu banyak yang merasa membosankan terutama bagi generasi milenial. Maka kami memakai media audio visual melalui seni budaya wayang kulit," terang Djuyamto.
Ia pun memastikan bahwa ide dan materi cerita Babad Kartasura tetap menggunakan sumber-sumber maupun literasi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan ontentifikasinya. Bahkan sebelum diputuskan untuk diangkat dalam pagelaran seni wayang kulit, juga melalui diskusi panjang melibatkan ahli sejarah, budayawan, serta akademisi.
"Kita ketahui sejarah Keraton Kartasura ini mulai berdiri sampai runtuhnya diawali dari sekira tahun 1680 sampai tahun 1742, itu rentang waktu yang panjang. Kemudian diangkat ceritanya melalui pertunjukkan wayang kulit dari pukul 21.00 WIB hingga 03.00 WIB, ini kan perlu dikonsep dengan matang. Dipadatkan dengan menggambarkan peristiwa sejarah apa yang paling menonjol di jaman itu," bebernya.
Selain diskusi, ide wayang kulit Babad Kartasura yang digagas Djuyamto sejak tahun lalu itu juga mendasarkan dari berbagai buku sejarah sebagai referensi untuk membuat alur ceritanya, diantaranya buku Babad Tanah Jawa, buku Babad Kartasura, kemudian buku yang ditulis DR.H.J De Graaf tentang Kemelut di Kartasura Abad XVII, dan buku M.C. Ricklefs salah satunya tentang Pangeran Samber Nyawa atau Raden Mas Said.
"Jadi referensi dari buku sejarah itu wajib. Ada yang versi VOC, ada juga yang versi Radya Pustaka. Dari (buku-buku) itu diambil untuk alur cerita, terutama dari sejak Keraton Plered hancur karena diserbu Trunojoyo hingga kemudian Wonokerto atau Kartasura ini dipilih untuk dijadikan keraton, sampai tembok benteng keraton dijebol oleh Raden Mas Garendi (Amangkurat V)," imbuhnya.
Sebagai sebuah terobosan baru, sedikitnya tiga dalang dimainkan secara bersamaan di atas panggung. Dalang yang terlibat asli dari Kartasura yaitu Ki Dalang Wahyu Dunung Raharjo, Ki Dalang Tulus Raharjo, dan Ki Dalang Amar Pradopo. Mereka diiringi karawitan tim seni Gubug Wayang Gamelan dengan menciptakan 76 karakter tokoh untuk lakon Babad Kartasura.
Kemeriahan dan antusiasme penonton semakin terasa dengan hadirnya bintang tamu artis serba bisa, yaitu penyanyi juga penari Endah Laras. Sempat diguyur hujan, namun tidak menyurutkan semangat warga yang menonton hingga pertunjukkan berakhir pada pukul 02.00 WIB.
Salah satu penonton itu adalah Badrus Zaman, advokat sekaligus Korwil DPD PERADI Jateng yang juga merupakan warga Makamhaji, Kartasura. Ia datang menonton lantaran tertarik dengan ide cerita Babad Kartasura, dimana cerita itu sama sekali belum pernah ada di pertunjukkan wayang kulit pada umumnya.
"Menurut kami, ini adalah sebuah inovasi baru dalam memvisualkan cerita sejarah melalui pertunjukkan seni tradisional yaitu wayang kulit. Dengan cara seperti ini, masyarakat selain terhibur juga menjadi lebih paham tentang sejarah yang digambarkan melalui wayang. Apalagi ini dalangnya tiga sekaligus. Luar biasa," pungkasnya.
Editor : Joko Piroso