Festival Literasi Sragen 2025 Diwarnai Sorotan Pembajakan Buku, Pegiat Desak Edukasi Publik
             
            
             SRAGEN, iNewsSragen.id – Festival Literasi Sragen 2025 yang berlangsung selama tiga hari, mulai Selasa (16/9), tak hanya menyuguhkan rangkaian kegiatan budaya baca, tetapi juga diselimuti polemik serius terkait maraknya praktik pembajakan buku.
Fenomena ini menjadi sorotan utama bahkan sebelum festival resmi dibuka. Di media sosial, kritik pedas dilayangkan publik setelah mencuat kabar adanya bazar buku yang terang-terangan menjual buku bajakan. Kondisi tersebut memantik diskusi hangat mengenai bagaimana nasib dunia literasi jika praktik ilegal seperti ini terus dibiarkan.
Para penulis dan pegiat literasi menilai pembajakan buku adalah masalah besar yang sudah lama menggerogoti ekosistem penerbitan di Indonesia. Bagi mereka, pembajakan tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga menghancurkan penghargaan atas kerja keras penulis.
“Buku itu lahir dari proses panjang. Ada penulis yang butuh waktu bertahun-tahun untuk menulis satu karya. Kalau karyanya dibajak, itu sama saja menghilangkan apresiasi terhadap jerih payah mereka,” ungkap salah satu pegiat literasi.
Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan (Arpusda) Sragen, Yusep Wahyudi, mengakui bahwa pembajakan buku bukan perkara mudah dicegah. Menurutnya, persoalan ini sangat erat kaitannya dengan perilaku konsumtif masyarakat.
“Orang memang cenderung memilih yang gratis atau yang murah,” ujarnya.
Yusep menambahkan, solusi tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum. Lebih jauh, diperlukan edukasi publik agar masyarakat sadar dampak negatif pembajakan.
“Perlu edukasi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa pembajakan merugikan penulis, penerbit, bahkan pembaca sendiri,” katanya.
Meski diwarnai isu pembajakan, Yusep memastikan Festival Literasi Sragen tetap berjalan dengan semangat membangun budaya baca. Festival ini menampilkan berbagai kegiatan edukatif, seperti mendongeng, bimbingan teknis menulis, hingga peluncuran buku karya lokal.
Dia menegaskan pentingnya merangkul penulis Sragen agar bisa berkembang bersama.
“Kami juga mengajak penulis Sragen, kita rangkul. Literasi tidak hanya sekadar membaca, tetapi juga tentang membentuk budaya,” tegasnya.
Fenomena pembajakan buku yang mencuat di tengah Festival Literasi Sragen 2025 menjadi cermin tantangan besar literasi nasional. Tanpa kesadaran kolektif, sulit bagi ekosistem literasi untuk tumbuh sehat.
Di satu sisi, masyarakat mendambakan harga buku yang terjangkau. Namun di sisi lain, penulis dan penerbit membutuhkan penghargaan yang layak agar tetap produktif. Sinergi antara edukasi, kebijakan pemerintah, dan dukungan publik menjadi kunci untuk mengakhiri praktik ilegal ini.
Festival Literasi Sragen 2025 pun menjadi momentum penting: apakah masyarakat siap meninggalkan pembajakan dan benar-benar mendukung budaya literasi yang sehat?
Editor : Joko Piroso