get app
inews
Aa Text
Read Next : Sragen Menuju Desa Digital, Internet Gratis Jadi Senjata Baru Perangi Kemiskinan Ekstrem

Warga Sragen Tempuh Jalur Ombudsman, Lahan Keluarga Diduga Dicaplok Pengembang Perumahan

Senin, 13 Oktober 2025 | 17:28 WIB
header img
Aris Parwanto, warga Dukuh Bulakasri, Desa Pelemgadung, Sragen, menunjukkan lahan keluarganya yang diduga dicaplok pengembang perumahan. Ia kini melapor ke Ombudsman setelah laporannya ke kepolisian dihentikan.Foto:iNews/Joko P

SRAGEN, iNewsSragen.id  – Kasus dugaan penyerobotan lahan warga oleh pengembang perumahan kembali mencuat di Kabupaten Sragen. Kali ini, seorang warga Dukuh Bulakasri, Desa Pelemgadung, Kecamatan Karangmalang, bernama Aris Parwanto, memilih menempuh langkah hukum lanjutan setelah laporan sebelumnya di Polres Sragen dihentikan penyidik.

Pria yang dikenal tegas dan vokal memperjuangkan haknya itu mengaku kecewa karena perkara dugaan pencaplokan tanah milik keluarganya tidak berlanjut di kepolisian. Tak tinggal diam, Aris berencana melaporkan kasus ini ke Ombudsman Republik Indonesia pekan ini. Langkah itu diambil setelah dirinya merasa tidak mendapatkan keadilan atas proses hukum yang sudah ditempuh sejak tahun lalu.

“Tanahku dicaplok sejak awal pembangunan perumahan. Dua baris padi kami dikeruk operator saat mengolah lahan,” tutur Aris dengan nada getir saat ditemui di lokasi, Senin (13/10/2025).

Sembari menunjukkan spanduk bertuliskan “Tanah Ini Masih Sengketa”, Aris kembali melakukan orasi di tengah lahan yang kini sebagian telah berdiri bangunan permanen milik pengembang. Ia menegaskan, perjuangan ini bukan semata tentang nilai ekonomi tanah, melainkan soal hak dan keadilan yang harus ditegakkan.

Laporan ke Polisi Dihentikan, Aris Pilih Tempuh Jalur Baru

Menurut Aris, laporannya ke Polres Sragen telah dihentikan (SP3) tanpa ada kejelasan. Ia mengklaim sudah berkomunikasi langsung dengan Kapolres Sragen yang justru tidak mengetahui detail kasus tersebut.

“Pak Kapolres bilang tidak dilapori soal ini. Artinya, ada yang janggal dalam penanganan laporan kami,” ujar pensiunan ASN itu.

Ia pun menyinggung lemahnya pengawasan dari Dinas Perumahan, Permukiman, Pertanahan, dan Tata Ruang (Disperkimtaru) yang dinilai menutup mata terhadap pelanggaran batas lahan. Menurutnya, perizinan pembangunan seharusnya tidak diterbitkan sebelum sengketa tanah benar-benar selesai.

“Kami hanya ingin keadilan. Saya akan ke Ombudsman minggu ini, membawa semua bukti bahwa tanah itu memang diserobot,” tegasnya.

Versi Desa: Ada Selisih Ukuran 20 Sentimeter

Sementara itu, Sekretaris Desa Pelemgadung, Zepri Martin, menjelaskan bahwa persoalan ini sudah muncul sejak Mei 2024. Saat Aris meminta pengukuran ulang, kondisi di lapangan sudah berbeda dari data awal karena pondasi perumahan telah berdiri.

Dari hasil pengecekan, ditemukan selisih ukuran sekitar 20 sentimeter di sisi belakang lahan. Meski tampak kecil, perbedaan itu cukup untuk memicu sengketa batas tanah.

“Kami hanya mencocokkan data di buku rijek desa dan letter C. Memang ada perbedaan ukuran, tapi panjang tidak diukur karena sudah ada jalan dan saluran lama yang mengurangi area,” jelas Zepri.

Ia mengaku pihak desa sudah menasihati kedua belah pihak agar menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Namun karena tak ada titik temu, kasus ini berlanjut hingga ke ranah hukum.

Sejumlah warga sekitar menilai konflik ini terjadi karena lemahnya koordinasi antara pengembang dan pemerintah desa sejak awal pembangunan. Mereka berharap Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera turun tangan melakukan pengukuran ulang agar tidak menimbulkan spekulasi.

“Kalau dari awal pengembang koordinasi, mungkin nggak sampai begini. Sekarang pondasi sudah berdiri, baru ramai soal batas tanah,” ujar Riyanto, warga sekitar yang rumahnya berdekatan dengan proyek tersebut.

Kasus ini kini masuk tahap mediasi internal desa. Pemerintah desa mengaku siap menjadi fasilitator mempertemukan kedua pihak, namun tidak menutup kemungkinan perkara ini kembali berlanjut ke ranah hukum jika tidak ada kesepakatan.

Kasus di Desa Pelemgadung menjadi potret nyata benturan antara kepentingan ekonomi dan hak warga atas tanah. Di tengah maraknya pembangunan perumahan di Sragen, muncul kekhawatiran bahwa praktik seperti ini bisa terulang jika pengawasan dan verifikasi administrasi di tingkat desa tidak diperketat.

Bagi Aris dan keluarganya, tanah yang kini disengketakan bukan sekadar aset, melainkan warisan keluarga yang dijaga turun-temurun.

“Yang kami inginkan hanya kejelasan dan keadilan. Kalau memang tanah kami diambil sebagian, ya kembalikan atau ganti secara layak. Jangan dibiarkan begitu saja,” tutupnya lirih.

Editor : Joko Piroso

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut