SRAGEN, iNewsSragen.id - Ratusan warga Kampung Ngablak, Kelurahan Kroyo, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen,Jumat siang (30/8/2024), mengadakan ritual sedekah bumi dan sekaligus merayakan HUT Kemerdekaan RI ke-79.
Budaya leluhur ini untuk memberikan rasa syukur terhadap hasil bumi yang melimpah tercermin dalam berbagai tradisi dan ritual yang telah diwariskan turun-temurun. Salah satu contoh nyata dari budaya ini adalah ritual sedekah bumi yang dilakukan di Kampung Ngablak, Sragen.
Ritual ini merupakan bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil bumi yang melimpah.
Hasil bumi yang melimpah dikemas dalam bentuk gunungan besar. Gunungan ini merupakan simbol dari Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan, serta Sadono, yang melambangkan kesejahteraan.
Gunungan tersebut diarak keliling kampung diiringi dengan kesenian lokal seperti reog, sebagai wujud syukur dan doa keselamatan. Ini juga sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi dan leluhur.
Setelah diarak, gunungan hasil bumi diperebutkan oleh warga. Perebutan ini melambangkan distribusi berkah dan keberuntungan di antara masyarakat.Selain itu, ada tradisi bersih desa yang dilakukan pada hari tertentu, seperti Jumat Wage di Kampung Ngablak. Tradisi ini juga merupakan bentuk doa keselamatan dan penyerahan hasil bumi sebagai ungkapan syukur.
Sesepuh Kampung Ngablak, Harjo Sugito (baju hitam).Foto:iNews/Joko P
Sesepuh Kampung Ngablak, Harjo Sugito, yang berusia 90 tahun, menjelaskan bahwa nama "Ngablak" berasal dari istilah Jawa "ngeblake," yang berarti membuka informasi yang sebelumnya dirahasiakan.
Menurut Harjo, istilah ini merujuk pada informasi tentang munculnya keraton baru di Sragen, mirip dengan keraton di Yogyakarta. Ia menjelaskan bahwa informasi ini berasal dari leluhurnya, meski ia sendiri tidak mengetahui detail tentang nama leluhur yang menyampaikan informasi tersebut.
Tradisi bersih desa ini telah berlangsung turun-temurun di Kampung Ngablak sejak zaman dahulu, dan selalu dilakukan pada Jumat Wage.
Ritual ini melibatkan dua gunungan yang melambangkan Dewi Sri dan Sadono. Gunungan ini, yang awalnya berupa padi yang dibawa pulang setelah panen dan ditempatkan di ruang penyimpanan sebagai simbol pengantin, kini diwujudkan dalam bentuk gunungan besar.
Gunungan-gunungan ini diarak keliling kampung diiringi dengan kesenian lokal seperti reog. Di Kampung Ngablak, terdapat paguyuban kesenian reog yang dikenal sebagai Reog Turangga Sakti, di mana Mbah Gito pernah menjadi pimpinan pada tahun 1961.
Tokoh kampung Ngablak, Agus Tri Wibowo, mengungkapkan bahwa di wilayah ini dulunya terdapat petilasan Jaka Tingkir, yang kini dikenal sebagai Pundhung Kiai Tempur, karena pernah menjadi lokasi pertemuan sungai. Lokasi petilasan ini sekarang masuk wilayah kampung lain, tepatnya di dekat Puro Asri.
Agus juga menjelaskan bahwa pada masa Era Pajang atau Jaka Tingkir, ada sebuah tempat bernama Kemantren yang terletak di sebelah selatan Simpang Empat Ngablak. Di sinilah lahir Eyang Sumeni, seorang pejuang perempuan terkenal dari Bumi Sukowati.
Namun, bangunan rumah Kemantren tersebut sudah hancur, dan kini hanya tinggal cucu-cucu Eyang Sumeni yang masih ada.
Kampung Ngablak sendiri terdiri dari empat rukun tetangga (RT) yaitu RT 011, 012, 013, dan RT 014, dan termasuk dalam satu wilayah rukun warga (RW) 004. Di kampung inilah lahir pejuang perempuan Sukowati, Eyang Sumeni, yang namanya diabadikan sebagai nama Jalan Sragen-Batu Jamus.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait