SRAGEN, iNewsSragen.id - Keputusan Bawaslu Sragen terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN yang melibatkan Kepala Puskesmas Sragen, Lukman Hakim, telah menimbulkan ketegangan dan kekecewaan mendalam di kalangan Satgas Pembaharuan Sragen (SPS) dan tim pemenangan pasangan Sigit-Suroto.
Setelah menunggu hampir 7,5 jam dalam proses kajian, SPS merasa bahwa hasil kajian yang hanya menghasilkan rekomendasi administratif ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk memberikan sanksi, tidak memenuhi harapan mereka, karena menurut mereka kasus ini seharusnya bisa diproses lebih lanjut ke ranah pidana pemilu.
Ketua SPS Andang Basuki menyatakan sangat kecewa dengan keputusan Bawaslu, karena proses penanganan kasus ini tidak mencakup unsur pidana pemilu meskipun bukti-bukti pelanggaran netralitas ASN sangat jelas, seperti unggahan di TikTok dan WhatsApp, serta pengakuan dari terlapor yang telah meminta maaf.
Andang menilai bahwa keputusan ini hanya bersifat administratif dan merugikan keadilan, karena terlapor sama sekali belum dipanggil untuk memberikan keterangan.
Sebagai respons atas keputusan Bawaslu yang dianggap tidak memadai, SPS berencana untuk melaporkan Bawaslu Sragen ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan kepolisian.
Mereka menganggap keputusan Bawaslu sebagai pelanggaran kode etik dan indikasi penyimpangan dari tugas pokok dan fungsi yang diamanatkan dalam undang-undang.
Menurut Andang, jika ini hanya urusan administratif, kenapa harus melibatkan Sentra Gakkumdu yang di dalamnya terdapat Kejaksaan Negeri dan Polres Sragen?
Tudingan Pelanggaran Pidana dan Ketidakadilan:
Koordinator Humas Tim Pemenangan Sigit-Suroto, Eko Wijiyono, berpendapat bahwa keputusan Bawaslu sebenarnya terindikasi pelanggaran pidana. Menurutnya, tindakan pelanggaran netralitas ASN ini jelas terlihat dalam bukti-bukti media sosial, dan bahkan sudah diakui oleh terlapor yang meminta maaf.
Namun, meskipun bukti sudah cukup kuat, Bawaslu justru memutuskan kasus ini sebagai masalah administratif, bukan pidana.
Eko menyatakan bahwa ini adalah bentuk dari "disruptive justice" atau perusakan keadilan yang jelas mencederai rasa keadilan masyarakat.
Ia menambahkan bahwa meskipun pertemuan kecil atau laporan-laporan kecil bisa diproses lebih cepat oleh Bawaslu, kasus besar dengan bukti yang jelas justru diabaikan.
Hal ini semakin memperburuk pandangan mereka terhadap kapasitas Bawaslu dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan undang-undang.
Anggota tim pemenangan Rus Utaryono juga mengkritik keputusan ini, menyebutnya sebagai ironi dalam pelaksanaan Pilkada yang seharusnya berjalan dengan adil dan transparan.
Menurutnya, keputusan Bawaslu justru memperkuat isu persekongkolan untuk melindungi ASN yang dilaporkan. Rus menegaskan bahwa pihaknya akan menyelidiki lebih lanjut isu ini.
Sementara itu, Dwi Budhi Prasetya, Ketua Bawaslu Sragen, membela keputusan yang telah diambil. Menurutnya, keputusan tersebut sudah mengikuti mekanisme penanganan pelanggaran yang diatur dalam aturan perundang-undangan yang berlaku.
Budhi menjelaskan bahwa semua proses yang dilakukan, termasuk pemanggilan saksi-saksi dan penanganan kasus, sudah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan Bawaslu.
Terkait tudingan persekongkolan atau upaya melindungi ASN, Budhi dengan tegas membantahnya. Ia menegaskan bahwa Bawaslu Sragen bertindak secara profesional dan telah mengikuti kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Dalam hal ini, Bawaslu merasa tidak melanggar undang-undang atau kode etik.
Perbedaan pandangan ini mencerminkan ketegangan yang terjadi dalam proses pengawasan pemilu di tingkat daerah.
SPS dan tim pemenangan Sigit-Suroto merasa bahwa keadilan tidak tercapai, sementara Bawaslu Sragen merasa telah menjalankan tugasnya dengan benar sesuai prosedur yang ada.
Langkah-langkah lanjutan yang akan diambil oleh SPS dan tim pemenangan, termasuk laporan ke DKPP dan kepolisian, menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap keputusan Bawaslu.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait