Hari Kesehatan Mental Dunia: Krisis Sunyi di Tempat Kerja, Separuh Pekerja Alami Burnout dan Tekanan
Kartika Amelia, pakar HR dari Human Care Consulting (HCC), menjelaskan bahwa masih banyak perusahaan belum memiliki sistem deteksi dini terhadap stres kerja. “Burnout bukan sekadar isu personal. Tanpa sistem pemantauan dan pendampingan yang tepat, perusahaan bisa kehilangan potensi produktivitas senilai puluhan juta rupiah per karyawan setiap bulannya,” ujarnya.
Sebagai solusi, Kartika mendorong penerapan Psychological Check-Up (PCU) — sebuah metode skrining komprehensif yang membantu individu dan organisasi mengenali tingkat stres, kecemasan, serta kondisi psikologis secara ilmiah. “Dari hasil PCU, kita bisa menentukan intervensi yang akurat, mulai dari konseling profesional, pelatihan ketahanan mental, hingga program employee wellbeing yang berbasis bukti,” jelasnya.
Pendekatan berbasis data seperti PCU ini, menurut laporan Workplace Wellbeing Initiative Trends 2025, telah terbukti meningkatkan produktivitas hingga 20% dan menurunkan tingkat absensi serta turnover hingga 30%. Dengan dukungan dashboard digital dan pemantauan berkelanjutan, organisasi mampu mengambil langkah cepat dan adaptif dalam menjaga kesehatan mental karyawannya.
Kartika menegaskan, budaya kerja yang sehat dimulai dari keberanian untuk membuka ruang dialog. “Ketika perusahaan memberi ruang bagi karyawan untuk bicara, mereka tidak hanya mengurangi beban mental, tetapi juga membangun daya tahan emosional dan loyalitas yang lebih kuat,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa kesehatan mental harus dipandang sebagai investasi strategis, bukan sekadar kebijakan HRD. “Dengan strategi yang tepat, tempat kerja bukan hanya menjadi ruang pencapaian hasil, melainkan juga tempat tumbuhnya manusia yang sehat, tangguh, dan berdaya,” pungkas Kartika.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait