Sutrisna mengaku tidak ingin mengambil risiko sosial. Ia takut kebijakan membuka pintu air akan memicu amarah warganya sendiri. Baginya, keselamatan desanya menjadi prioritas sebelum kebijakan saluran air diputuskan.
Ketidakpastian ini memicu situasi deadlock. Di tengah kebuntuan antar desa dan belum adanya intervensi anggaran, petani Jono hanya bisa menatap hamparan sawah yang gagal panen. Sukardi, salah seorang petani, mengaku sawahnya masih terendam dan tidak lagi memiliki modal atau bibit untuk tanam ulang.
"Sudah ndak ada bibit, biaya habis. Terpaksa kembali miskin meski harga gabah tinggi. Tanam tiga kali gagal, ya mau bagaimana," keluhnya.
Saat ini petani berharap pemerintah tidak hanya hadir memberikan janji, melainkan kebijakan nyata—terutama bagi mereka yang terlilit kredit dan kehilangan modal produksi.
"Kalau bisa, yang terdampak banjir ini dibantu. Banyak yang punya pinjaman bank, saya salah satunya. Setengah hektar sawah saya habis," tutupnya.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait
