SRAGEN, iNewsSragen.id - Keputusan kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Sragen tahun 2026 sebesar 7,124 persen menuai sorotan tajam dari kalangan pelaku usaha. Di balik kenaikan nominal sebesar Rp155.500, muncul kekhawatiran serius terhadap masa depan iklim investasi di wilayah yang selama ini diproyeksikan sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Tengah.
Bagi dunia usaha, kebijakan ini bukan sekadar penyesuaian angka, melainkan menyangkut keberlanjutan daya saing daerah. Dananjaya, pengusaha lokal Sragen, menilai tren kenaikan upah yang cukup signifikan berpotensi menghambat masuknya investasi baru, khususnya dari pemodal besar dan investor asing.
“Dampaknya mungkin tidak terlalu terasa bagi pengusaha kecil seperti kami. Namun bagi investor besar, terutama asing, ini menjadi persoalan serius karena mereka sangat bergantung pada efisiensi biaya tenaga kerja,” ujar Dananjaya.
Ia menjelaskan, selama ini daya tarik utama Sragen terletak pada tingkat upah yang relatif kompetitif. Kondisi tersebut mendorong sejumlah perusahaan memindahkan operasionalnya dari kawasan padat industri seperti Jakarta ke Sragen. Namun, jika keunggulan tersebut terkikis, risiko pembatalan rencana ekspansi atau bahkan hengkangnya investor menjadi ancaman nyata.
Kekhawatiran investor, lanjut Dananjaya, juga tidak berdiri sendiri. Faktor birokrasi dan stabilitas wilayah turut memperburuk sentimen. Ia menyinggung gagalnya Sragen menyandang status Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) akibat minimnya sosialisasi pengambilalihan lahan serta dugaan adanya “permainan” di tingkat desa.
“Gejolak sosial dan aksi demonstrasi pada 2023 lalu ikut memicu pembatalan KEK. Sekarang, dengan kebijakan UMK yang dianggap kurang mempertimbangkan kondisi makro ekonomi, pemerintah daerah seolah sedang mempertaruhkan kembali kepercayaan investor,” tegasnya.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait
