Pria kedua berlari ke arah pria pertama membawa selimut untuk mencoba menghangatkan bayi yang baru lahir itu di suhu di bawah nol derajat, sementara pria ketiga berteriak meminta mobil untuk membawanya ke rumah sakit. Bayi itu dibawa untuk dirawat di kota terdekat Afrin, sementara anggota keluarga menghabiskan beberapa jam berikutnya untuk mengeluarkan jenazah ayahnya Abdullah, sang ibu Afraa, empat saudara kandung sang bayi dan seorang bibi.
Jenazah mereka dibaringkan di lantai rumah kerabat yang berdekatan menjelang pemakaman bersama yang diadakan pada hari Selasa waktu setempat.
Di ruangan remang-remang, Suwadi menatap mayat-mayat tak bernyawa itu dan mencatat nama-nama mereka. "Kami mengungsi dari (kota timur yang dikuasai pemerintah) Deir Ezzor.
Abdullah adalah sepupu saya dan saya menikah dengan saudara perempuannya," tuturnya. Di dalam inkubator di rumah sakit di Afrin, bayi yang baru lahir itu dihubungkan ke infus, tubuhnya terluka, dan perban melilit di tangan kirinya. Dahi dan jari-jarinya masih membiru karena kedinginan saat dokter anak Hani Maarouf memantau bagian vitalnya.
"Dia sekarang stabil," kata Maarouf tetapi mencatat bahwa dia tiba dalam kondisi buruk. "Dia mengalami beberapa memar dan luka di sekujur tubuhnya," katanya kepada AFP.
"Dia juga datang dengan hipotermia karena cuaca yang sangat dingin. Kami harus menghangatkannya dan memberikan kalsium," sambungnya.
Seorang koresponden AFP melaporkan rumah keluarga itu adalah salah satu dari sekitar 50 rumah di Jindayris yang rata dengan tanah akibat gempa.
Editor : Joko Piroso