SOLO,iNewsSragen.id - Nama Kyai Ageng Henis tidak bisa dilepaskan dari kampung batik Laweyan dengan pengaruh-pengaruhnya hingga melahirkan sentra batik di kampung itu sekaligus syiar Islam yang sangat terkemuka pada masa lalu.
Kisah Kyai Ageng Henis seolah tak pernah habis untuk ditelisik, karena cukup banyak kiprahnya dimasa itu yang belum tersentuh atau belum banyak diangkat dalam literasi-literasi sejarah populer saat ini.
Dilansir dari Diskominfo Solo pada, Sabtu (22/4/2023), sebagaimana banyak dikenal, Kyai Ageng Henis atau Ki Ageng Henis adalah putera dari Ki Ageng Sela, trah langsung dari silsilah Raja Brawijaya V, yang merupakan raja terakhir Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Ki Ageng Henis adalah ayah dari Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Karatongan. Ki Ageng Pamanahan kemudian memiliki putera Danang Sutawijaya yang menjadi Raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan Senopati.
Ketokohan Ki Ageng Henis membuat banyak orang hormat padanya. Dia juga ikut berperan dalam laku hidup dan kebijaksanaan sebagai guru spiritual Joko Tingkir atau Mas Karebet, yang kemudian berhasil naik tahta sebagai raja dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Saat Sultan Hadiwijaya memimpin Kasultanan Pajang, Ki Ageng Henis mengabdi kepada Sultan Hadiwijaya.
Karena sikapnya yang bijaksana, ia menjadi sesepuh dan tokoh kepercayaan Sultan Hadiwijaya. Kedekatannya dengan Sultan Hadiwijaya membuat ia semakin dihormati dan disegani.
Sebagai kakek dari Panembahan Senopati yang merupakan Raja Mataram Islam pertama, maka Ki Ageng Henis bisa dikatakan merupakan leluhur dari raja-raja Mataram, baik di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Mangkunegaran serta Pakualaman.
Ki Ageng Henis adalah sosok pemeluk Islam yang taat, sehingga dikenal luas sebagai ulama yang sering melakukan syiar Islam ke banyak orang, termasuk kepada masyarakat di Desa Laweyan pada saat itu.
Karena pendekatan ke warga memperhatikan budaya lokal, maka banyak pemeluk Hindu di Laweyan yang hijrah memeluk Islam. Termasuk salah seorang tokoh Hindu bernama Ki Ageng Beluk yang kemudian mau memeluk Islam karena tertarik dengan teladan hidup, sikap dan kebijaksanaan Ki Ageng Henis dalam menyampaikan dakwah secara damai dan sejuk.
Semasa hidup dan pengabdiannya di Desa Laweyan, Ki Ageng Henis juga menginspirasi banyak dibukanya pondok-pondok pesantren dengan jumlah santri yang terus berkembang.
Masjid Laweyan yang juga komplek makam Ki Ageng Henis/dok. Diskominfo Solo
Di Desa Laweyan, Ki Ageng Henis juga membangun Masjid Laweyan tahun 1546, yang hingga kini masih difungsikan sebagai tempat beribadah umat Islam di Kampung Laweyan.
Masjid Laweyan yang sebelumnya sebagai Pura untuk beribadat umat Hindu, merupakan masjid pertama di Kerajaan Pajang sekira abad 16, yaitu di masa kepemimpinan Joko Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya.
Keteladanan Ki Ageng Henis juga terlihat pada jiwa seni yang dimilikinya. Ia menjadi pelopor batik tulis di Desa Laweyan. Sembari berdakwah, Ki Ageng Henis juga mengajarkan membatik pada warga desa.
Mencerminkan sikap kesabaran, bijaksana dan berwibawa, Ki Ageng Henis mampu menciptakan motif Batik Sido Luhur, dimana ciptaannya ini memiliki makna yang kuat dan dalam.
Sido dalam bahasa Jawa artinya jadi atau menjadi. Sementara bila dieja dalam Bahasa Indonesia berubah menjadi sida.
Motif batik yang berawalan Sido bermakna harapan dan tercapainya sebuah cita-cita atau keinginan. Kata Luhur merupakan kata sifat yang artinya tinggi, terhormat dan agung.
Setiap pemakai motif batik tersebut diharapkan memiliki sifat luhur yang mencerminkan kebesaran jiwa, menjadi teladan atau panutan. Karena memiliki filosofi dan doa, pemakai motif batik Sido Luhur diharapkan bisa memperoleh kehormatan serta keagungan yang menyertai setiap perjalanan hidupnya.
Batik Sido Luhur, dalam masyarakat Jawa kerap dipergunakan untuk pasangan yang melangsungkan pernikahan, khususnya untuk malam pengantin juga tradisi mitoni (tujuh bulan kehamilan pertama).
Jasa Ki Ageng Henis dalam memajukan industri dan perdagangn batik di Desa Laweyan memang sangat besar. Kontribusi dan totalitasnya membantu perekonomian warga Laweyan sangat dirasakan.
Bahkan Bandar Kabanaran yang merupakan dermaga di Sungai Kabanaran (Sungai Jenes), menjadi salah satu dermaga yang cukup sibuk dengan berbagai komoditas seperti kain, benang dan kapas guna menunjang industri batik.
Bagi masyarakat yang penasaran ingin tahu lebih dalam tentang kebesaran Ki Ageng Henis, salah satunya bisa berziarah ke makam Ki Ageng Henis yang berada dalam satu kompleks Masjid Laweyan di Jalan Liris No 1, Kelurahan Pajang, Laweyan, Solo.
Editor : Joko Piroso