Strategi Benteng Belanda Gagal Hadapi Perang Gerilya Diponegoro di Mataram

MATARAM, iNewsSragen.id – Upaya Belanda membendung perlawanan Pangeran Diponegoro dengan membangun 258 benteng di berbagai wilayah Jawa justru menjadi blunder strategi militer. Diperintahkan langsung oleh Jenderal De Kock, pembangunan masif tersebut ditujukan untuk mengontrol dan mematahkan gerakan rakyat yang dipimpin Diponegoro selama Perang Jawa (1825–1830).
Benteng-benteng itu tersebar di wilayah strategis seperti Pajang, Mataram, Kedu, Bagelen, Ledok, hingga Monconegoro Timur. Namun, selain menelan biaya besar, proyek ini terbukti tidak efektif dalam menghadapi taktik perang gerilya yang diterapkan Diponegoro.
Menurut catatan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia IV, kesalahan analisis medan tempur dan perencanaan logistik membuat sistem pertahanan De Kock melemah. Banyak benteng dibangun di lokasi yang tidak strategis, bahkan ditinggalkan sebelum digunakan.
“Banyak benteng menjadi beban finansial dan tidak mampu meredam gerakan rakyat,” demikian salah satu kesimpulan dari sumber sejarah tersebut.
Diponegoro: Pemimpin Spiritual dan Ahli Strategi
Pangeran Diponegoro tidak hanya dikenal sebagai tokoh religius, tapi juga ahli dalam strategi perang atrisi. Bersama tokoh-tokoh seperti Kiai Mojo, Sentot Ali Basah, dan Raden Prawirodirjo, ia membangun kekuatan militer rakyat berbasis taktik gerilya.
Mereka memilih bertempur di wilayah terjal, subur, dan padat penduduk seperti area barat Sungai Progo dan timur Sungai Bogowonto, di wilayah Mataram. Ironisnya, kawasan yang dianggap sebagai “killing area” oleh De Kock, justru menjadi kuburan harapan militer kolonial.
Editor : Joko Piroso