Kisah Pilu Keluarga di Jantung Kota Sragen, Tinggal di Rumah Tanpa Atap dan Pintu

SRAGEN, iNewsSragen.id – Siapa sangka, di jantung Kota Sragen, hanya beberapa langkah dari jalan ramai dan pusat keramaian, masih ada keluarga yang harus bertahan hidup di rumah yang jauh dari kata layak. Di tepi aliran Sungai Garuda, berdiri sebuah rumah sederhana yang tak pernah benar-benar selesai dibangun. Dari luar, bangunan itu lebih mirip puing bangunan terbengkalai dibanding tempat tinggal. Namun, di sanalah Tri Widiatsih (51) bersama suami dan anak semata wayangnya bernaung, melewati hari demi hari dengan segala keterbatasan.
Rumah itu tanpa pintu, tanpa atap yang menutupi seluruh bagian. Sebagian dinding memang sudah tersusun bata ringan, tetapi bagian atas dibiarkan terbuka. Hanya atap asbes seadanya yang dipasang di sisi kanan rumah. Pintu depan tidak berupa kayu kokoh, melainkan lembaran asbes yang ditutup seadanya. Jendela pun diganti dengan triplek, menutup rapat dari luar. Untuk masuk ke dalam rumah, orang harus memutar ke sisi samping yang hanya ditutup anyaman bambu.
Begitu masuk, suasana miris langsung terasa. Hampir tak ada perabot rumah tangga. Semua kegiatan keluarga dilakukan di satu kamar tanpa pintu. Ruangan kecil itu menjadi tempat tidur Tri Widiatsih, suami, dan anaknya yang kini duduk di bangku kelas 6 SD. Tidak ada kasur empuk, hanya alas sederhana yang mereka gunakan setiap malam.
Bagian belakang rumah tak kalah memprihatinkan. Di sanalah dapur sekaligus kamar mandi berada, tanpa sekat pemisah. Untuk memasak, Asih panggilan akrab Tri Widiatsih masih menggunakan kompor kayu. Asap mengepul memenuhi dapur seadanya, sementara peralatan memasak pun serba terbatas. “Kalau masak ya masih pakai kayu. Di belakang itu ada tungku, tapi ya begini seadanya,” tuturnya lirih.
Asih mengaku sudah dua tahun tinggal di rumah tersebut. Rumah itu sejatinya warisan ibunya, kemudian ia dan saudara-saudaranya berinisiatif merenovasi. Namun, keterbatasan biaya membuat bangunan itu tak pernah selesai. “Dulu dibangun patungan sama kakak. Kakak ada uang sedikit, dibelikan material. Saya juga nabung, ada uang sedikit ya dipakai beli material. Tapi habis itu berhenti, karena uangnya nggak ada,” ucapnya.
Atap seadanya yang sekarang menutupi sebagian ruangan pun merupakan hasil bantuan saudaranya. “Saya kalau beli sendiri nggak kuat. Atap yang ada ini pun disokong kakak. Jadi ya seadanya begini, tidak selesai sampai sekarang,” tambahnya.
Lebih memprihatinkan lagi, rumah itu belum memiliki aliran listrik sendiri. Setiap malam, Asih hanya bisa mengandalkan listrik yang disambungkan dari rumah kakaknya yang berdiri tepat di samping rumahnya. “Listriknya numpang dari rumah kakak. Kalau hujan deras ya tetap masuk, ngrembes dari atas. Kalau angin kencang, kami bertiga hanya kumpul di kamar. Kalau takut, kadang nginep di rumah saudara,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Tampak depan rumah keluarga di Sragen yang belum selesai dibangun dan nyaris roboh.Foto:iNews/Joko P
Kondisi memilukan ini pun menarik perhatian banyak pihak. Kepala Divisi Program Lazismu Kabupaten Sragen, Sapto Priyo Utomo, mengatakan rumah Asih telah masuk dalam daftar prioritas perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Hasil asesmen menunjukkan dinding rumah sudah cukup kokoh, tetapi atap dan lantai membutuhkan perbaikan menyeluruh. “Anggarannya sekitar Rp 11 juta sampai Rp 15 juta. Rencana pengerjaan dimulai September ini dan ditargetkan selesai dalam satu hingga dua bulan,” jelasnya.
Kisah Asih menjadi potret nyata masih banyak warga yang harus bertahan hidup dengan kondisi memprihatinkan meski tinggal di pusat kota. Di tengah gemerlap pembangunan, masih ada keluarga yang setiap hari berjuang hanya untuk bisa tinggal di rumah yang layak.
Editor : Joko Piroso