Makam Belanda di Sragen, Antara Kenangan Keturunan dan Jejak Industri Kolonial

SRAGEN, iNewsSragen.id – Di balik tenangnya sebuah pemakaman umum di Dukuh Gempol, Desa/Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen, tersimpan jejak sejarah yang jarang diketahui masyarakat luas. Di antara ratusan makam warga, berdiri lima makam peninggalan orang Belanda yang kini menjadi saksi bisu perjalanan kolonial di wilayah Sambirejo.
Ketika memasuki area pemakaman, pengunjung akan langsung melihat nisan berwarna biru yang menjulang di bawah pohon kepuh berusia ratusan tahun. Di sela-sela nisan modern, tampak sebuah bangunan berbentuk persegi, sebagian sudah terpendam tanah. Nisan itu dikenal warga sekitar dengan sebutan “makam Belanda”.
Salah satu makam yang masih bisa dibaca jelas adalah makam Sersan Major J. Maelissja, yang disebut sebagai seorang penginjil di Jawa dan pernah tinggal di Sambirejo, Sragen. Nisan berbentuk sederhana dengan simbol salib ini membujur ke arah timur, menandakan pengaruh tradisi Kristen pada masa itu.
Menurut penuturan Siswo Sudarto (79), sejak kecil ia sudah mengetahui keberadaan makam Belanda tersebut. Namun, seiring waktu, jumlah makam berkurang karena sebagian batu marmer yang menjadi nisan hilang diambil orang.
“Dulu ada sekitar lima makam Belanda di sini. Tapi ada yang sudah hilang, marmernya diambil. Sekarang tinggal beberapa saja yang masih bisa dilihat,” ujarnya, Minggu (24/8/2025).
Selain makam, warga juga mengenal sebuah tugu besar setinggi sekitar 1,5 meter di dekat area tersebut. Tugu itu dulunya memiliki lima tingkatan, namun kini sudah roboh. Meski begitu, sisa bangunan tugu masih bisa ditemukan di sekitar makam.
Seorang warga lain, Sutikno (75), bahkan mengaku sebagai keturunan langsung salah satu tokoh Belanda yang dimakamkan di Dukuh Gempol. Ia menyebut buyutnya bernama Tuan Kripel, seorang pengede atau petinggi Pabrik Serat nanas di Desa Blimbing.
“Simbah saya orang Jawa, tapi kakek buyut saya orang Belanda, dimakamkan di sini. Namanya Tuan Kripel, dulunya ketua pabrik serat nanas,” jelas Sutikno, pria berambut pirang yang oleh warga sekitar sering dipanggil ‘Londo’.
Dari perkawinan Tuan Kripel dengan perempuan Jawa, lahirlah anak bernama Yatin, yang kemudian menjadi nenek dari Sutikno. Dari garis keturunan inilah, Sutikno bersama saudara-saudaranya lahir dengan ciri fisik berambut pirang yang berbeda dari mayoritas warga sekitar.
Selain pabrik serat nanas, warga juga masih mengingat keberadaan pabrik kopi di sekitar Dukuh Gempol. Namun kini bangunan pabrik tersebut sudah tidak ada, hanya menyisakan pondasi rumah warga. Sementara lokasi pabrik serat nanas yang dikelola Belanda berada di Desa Blimbing, barat lapangan desa, yang kini juga sudah tidak tersisa.
Keberadaan makam Belanda di Dukuh Gempol tidak hanya menjadi penanda hubungan sosial masyarakat Jawa dengan orang Eropa pada masa kolonial, tetapi juga menyimpan kisah tentang industri lokal yang pernah berkembang pesat. Dari pabrik kopi hingga pabrik serat nanas, Sambirejo pernah menjadi kawasan industri yang memberi pengaruh besar terhadap perekonomian masyarakat sekitar.
Kini, meski sebagian makam sudah hilang, peninggalan itu tetap menjadi saksi sejarah yang terhubung dengan identitas warga setempat. Kisah keluarga Sutikno dan jejak industri kolonial menjadi bagian dari cerita panjang yang terukir di tanah Sragen.
Editor : Joko Piroso