KPU DKI Serahkan Salinan Ijazah Jokowi, Bonatua Silalahi Siapkan Langkah Pembandingan Dokumen

JAKARTA, iNewsSragen.id — Upaya untuk mencari kejelasan atas dokumen ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memasuki babak baru. Pengamat kebijakan publik Bonatua Silalahi menerima salinan ijazah Jokowi yang telah dilegalisir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Senin (13/10/2025).
Penyerahan dokumen tersebut dilakukan secara resmi, lengkap dengan Berita Acara Serah Terima dari pihak KPU DKI Jakarta. “Iya, kami ambil salinan ijazah beserta berita acara serah terima,” ujar Bonatua saat dikonfirmasi seusai pengambilan dokumen.
Dalam kesempatan itu, pakar telematika Roy Suryo juga hadir mendampingi proses serah terima di Gedung KPU DKI Jakarta. Keduanya menyebut langkah ini sebagai bentuk verifikasi publik atas dokumen yang selama ini menjadi perdebatan.
Meski sebelumnya Bonatua telah memperoleh salinan ijazah terlegalisir dari KPU RI pada 2 Oktober 2025, ia menegaskan bahwa pengambilan dokumen dari KPU DKI Jakarta kali ini dilakukan untuk tujuan pembandingan administratif dan keabsahan hukum.
Menurutnya, secara prosedural, setiap legalisir dokumen resmi akan memiliki tanggal dan pejabat penandatangan yang berbeda, tergantung tahun dan konteks penggunaannya. “Secara teori, salinan ijazah terlegalisir akan berbeda di setiap tanggal dan nama pejabat pelegalisirnya,” jelas Bonatua.
Ia menambahkan, hasil perbandingan ini akan digunakan untuk menilai konsistensi antara legalisir dokumen yang disimpan di KPU RI dan KPU DKI Jakarta. Langkah itu sekaligus menjadi bentuk kontrol publik terhadap transparansi penyelenggara pemilu.
“Yang kami lakukan bukan bentuk tuduhan, tapi verifikasi ilmiah dan administratif agar publik tidak berspekulasi tanpa dasar,” tegasnya.
Bonatua juga mengonfirmasi bahwa pengambilan salinan ijazah dari KPU DKI Jakarta berkaitan langsung dengan agenda hukum dalam Sidang Komisi Informasi Pusat (KIP). Sidang tersebut membahas akses publik terhadap arsip salinan ijazah Jokowi tahun 2014 dan 2019, yang menurutnya seharusnya disimpan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.
“Benar, sidang nanti siang di KIP membahas arsip salinan ijazah 2014 dan 2019 yang wajibnya tersimpan di ANRI. Kami ingin memastikan bahwa prosedur itu berjalan sesuai amanat undang-undang,” ujar Bonatua.
Menurutnya, verifikasi ini penting karena dokumen ijazah merupakan persyaratan administratif utama dalam setiap pencalonan pejabat publik, baik di tingkat daerah maupun nasional. “Transparansi dokumen pejabat publik bukan sekadar formalitas, melainkan cermin akuntabilitas negara terhadap rakyatnya,” imbuhnya.
Konteks Historis: Dari Gubernur ke Presiden
Sebagai informasi, dokumen ijazah yang kini menjadi perhatian publik merupakan berkas resmi yang digunakan Jokowi saat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012–2014, sebelum akhirnya terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia.
Proses verifikasi ini disebut Bonatua bukan untuk menyerang personalitas siapa pun, tetapi untuk memastikan bahwa prosedur kelembagaan di tingkat penyelenggara negara tetap transparan dan tertib administrasi.
“Isu ini jangan dipelintir jadi politik. Ini soal dokumentasi publik dan integritas arsip negara,” ujar Roy Suryo di sela-sela kunjungannya ke Gedung KPU DKI Jakarta.
Perkembangan kasus ini menarik perhatian publik karena menyangkut akuntabilitas lembaga negara dalam mengelola arsip pencalonan pejabat publik. Dalam konteks keterbukaan informasi, upaya Bonatua dan Roy Suryo dinilai sebagai langkah penting untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi.
Beberapa pengamat menilai, transparansi seperti ini penting untuk memastikan tidak ada celah dalam sistem administrasi negara. “Selama ini publik lebih banyak disuguhi spekulasi. Sekarang saatnya kita bicara data, dokumen, dan prosedur hukum,” ujar salah satu analis kebijakan di Jakarta.
Langkah Bonatua juga menjadi ujian penting bagi lembaga-lembaga negara dalam menegakkan prinsip keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.
Dengan publik yang semakin kritis dan berani menuntut transparansi, kasus ini diyakini akan terus menjadi sorotan, terutama jelang tahun politik mendatang.
Editor : Joko Piroso