Menurut pengakuan para politisi senior Lebanon, krisis tersebut merupakan hasil dari puluhan tahun pemborosan anggaran dan korupsi yang menyebabkan sistem keuangan negara runtuh.
Menurut para ekonomi, kondisi itu akan semakin parah selama politisi menunda meloloskan reformasi yang disetujui dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada April tahun ini untuk membuka bantuan miliaran dolar.
Layanan dasar negara juga telah runtuh, subsidi pada hampir semua barang telah dihapus dan puluhan ribu warga Lebanon terpaksa meninggalkan negara itu untuk mencari pekerjaan di luar negeri dalam gelombang emigrasi terbesar sejak perang saudara 1975-90.
Bank Dunia menjuluki krisis tersebut sebagai "depresi yang disengaja" karena didalangi oleh elit politik dan keuangan. Pemerintah mengatakan tetap berkomitmen untuk menerapkan reformasi yang akan membuka jalan bagi kesepakatan dengan IMF.
Namun, tekanan publik untuk reformasi yang memuncak selama protes 2019 dan setelah ledakan pelabuhan Beirut Agustus 2020, perlahan mulai mereda.
Partai-partai yang telah memerintah selama beberapa dekade juga masih berusaha memperebutkan sebagian besar kursi dalam pemilihan parlemen pada Mei tahun ini.
“Rakyat Lebanon menerima dan terbiasa dengan semua kondisi ekonomi, politik, dan keamanan,” kata Mohammad Chamseddine, spesialis kebijakan dan penelitian di konsultan Informasi Internasional yang berbasis di Beirut.
Dia mencatat bahwa banyak rumah tangga telah menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Mereka hidup dengan bantuan dan beberapa ratus dolar yang setiap bulan dikirim kerabat mereka yang bekerja di luar negeri.
Banyak warga Lebanon telah lama mengandalkan pengiriman uang, yang jumlah alirannya pun telah meningkat karena sekitar 200.000 orang telah beremigrasi sejak 2019.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait