SUKOHARJO,iNewsSragen.id - Lamanya penyelidikan yang dilakukan Polres Sukoharjo terhadap kasus dugaan ayah hamili anak kandung perempuan yang dilaporkn sejak Agustus 2021 lalu, mendapat sorotan dari sejumlah pihak.
Desakan agar terlapor dalam kasus itu segera diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka mengemuka, lantaran hingga saat ini laporan korban belum ada perkembangan yang berarti.
Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo melalui Manajer Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat, Fitri Haryani menyatakan, pencabulan yang dilakukan orang tua terhadap anak kandungya sendiri merupakan kejahatan kemanusiaan dan bagian pelanggaran UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Hukumannya semestinya lebih dari hukuman dari bukan orang terdekat atau ada pertalian darah,” kata Fitri kepada dalam keterangannya seperti dikutip pada, Kamis (18/5/2023).
Menurutnya, hukuman yang diberikan pada pelaku dalam kasus itu seharusnya lebih berat dibandingkan kasus percabulan pada umumnya. Secara relasi terlihat jelas adanya ketimpangan antara anak dan orang tua, apalagi kasus dugaan percabulan terjadi pada usia anak.
"Sebagai orang dewasa rasa takut akan dialami korban ketika perbuatan asusila tersebut diterima, apalagi jika kejadian tersebut terjadi saat korban masih anak-anak," paparnya.
Ketakutan atas kemungkinan diusir, tidak memiliki tempat tinggal serta tidak diberi makan atau disekolahkan, bahkan ancaman pembunuhan, menurut Fitri, mungkin terjadi jika korban menceritakan kejadian tersebut pada orang lain.
"Semestinya perspektif aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak kepolisian yang dirasa sebagai tempat awal untuk melakukan pengaduan ataupun mencari keadilan lebih kooperatif dan melakukan proses penyelidikan lebih cepat sejak pelaporan," ujarnya.
Waktu ideal untuk kepolisian bertindak, menurut Fitri, adalah 30 hari setelah pelaporan, sesuai dengan UU Sistem Peradilan Anak. Apalagi kasus pencabulan tersebut melibatkan antara orang tua dan anak kandung.
“Perlindungan sebagai korban dan juga saksi semestinya bisa diberikan lewat kepolisian, mengajukan permohonan pada LPSK untuk perlindungannya. Jika prespektif ini tidak ada maka kasus akan berlangsung lama atau justru bisa jadi didamaikan,” sebutnya.
Fitri mengatakan, adanya seorang anak yang dilahirkan dari dugaan perbuatan ayah kandung tersebut, mestinya memudahkan aparat kepolisian mengusut laporan, yaitu dengan melakukan tes DNA pada anak yang dilahirkan korban sebagai proses pembuktian.
Sementara jika ada unsur lain, misalnya ancaman hingga pemaksaan yang dianggap sebagai bukti yang kurang, hal itu bisa menjadi bukti untuk memenuhi unsur perbuatan pidananya sudah terlampaui.
"Apalagi jika memakai UU TPKS, korban adalah saksi, dan sah jika hanya dengan satu bukti tambahan, misalnya dengan hasil tes DNA. Jadi, lamanya proses penetapan tersangka bukan berkaitan dengan aturan penegakan hukum melainkan komitmen aparat penegak hukum," tegasnya.
Ia pun menambahkan, dalam kasus itu banyak pihak yang bisa diajak bekerja sama untuk melakukan penegakan hukum seperti pengacara hingga kejaksaan pidana khusus.
Bahkan jika kepolisian menemui kendala, bisa melakukan gelar perkara dan mengajak aparat penegak hukum lainnya, seperti dinas perlindungan anak, lembaga layanan yang melakukan penanganan kasus, hingga akademisi untuk mendiskusikan kasus
“Jangan sampai kesannya kepolisian bekerja melakukan penyelesaian kasus karena desakan dari media,” sambung Fitri.
Berbicara soal dampak trauma yang dialami korban, menurut Fitri ada beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi, diantaranya bisa dilakukan dengan pendampingan dari psikolog untuk melakukan pemulihan secara psikologis.
Selain itu menciptakan lingkungan sekitar yang kondusif seperti tidak mengungkit-ungkit cerita, atau bertanya soal kasus yang telah dialami korban secara berulang kali. Ini untuk memastikan agar tidak memunculkan dampak trauma kembali pada korban.
Diketahui, G yang merupakan korban perbuatan bejat ayahnya yang merupakan praktisi hukum cukup ternama di Sukoharjo berinisial SW (58), saat ini berusia 21 tahun.
Ia, kali pertama dicabuli ayahnya masih berumur 14 tahun, atau tahun 2016, dan pada 2017, ia melahirkan seorang bayi yang kini berusia sekira 5 tahun. Namun anak yang dilahirkannya itu dipisahkan darinya oleh SW.
G yang hampir putus asa, bahkan sampai tiga kali berganti kuasa hukum, sekarang menunjuk Badrus Zaman dari Firma Hukum MBZ Keadilan untuk melanjutkan prosesnya dengan tuntutan, SW mendapat hukuman setimpal atas perbuatannya.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait