Sementara itu, KRT Wijaya Pamungkas dari Kawedanan Parentah Hageng Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat menegaskan bahwa Perjanjian Giyanti yang berlangsung pada 1755 di Dusun Giyanti, Kabupaten Karanganyar, bukan sekadar penanda perpecahan Mataram, melainkan juga sebuah pertemuan penting antara Paku Buwono (PB) III dan pamannya, Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwono I di Yogyakarta.
Meluruskan Narasi Perpecahan
Menurutnya, anggapan bahwa Perjanjian Giyanti menyebabkan kehancuran Mataram adalah narasi yang dikembangkan oleh VOC untuk memperkuat kekuasaannya di Surakarta. Faktanya, setelah perjanjian ditandatangani, PB III dan Pangeran Mangkubumi bertemu di Jatisari, yang membuktikan bahwa hubungan mereka tetap baik dan tidak terjadi benturan kepentingan.
"Perjanjian Giyanti bukanlah tanda kehancuran Mataram. Setelah perjanjian itu ditandatangani, PB III bertemu dengan Pangeran Mangkubumi di Jatisari. Ini menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan di antara mereka. VOC-lah yang menciptakan narasi konflik agar bisa tetap bercokol di Surakarta. Dalam istilah sekarang, ini adalah strategi adu domba atau 'goreng-menggoreng' isu," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa hubungan antara Solo dan Jogja tetap satu kesatuan, bahkan hingga memiliki hubungan perbesanan. Bukti lainnya adalah masih adanya peninggalan PB VII yang hingga kini tetap dilestarikan di Yogyakarta.
Untuk memperkuat ikatan antara keluarga kerajaan, setiap tahun digelar pertemuan budaya Catur Sagotra, yang melibatkan empat dinasti utama, yakni Keraton Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait