Ketua LSM TOPAN RI Kabupaten Sragen, Agus LD, turut menyoroti ketidakjelasan ini. Ia menilai perencanaan pengadaan obat di RSUD Soehadi Prijonegoro kurang matang dan tidak mempertimbangkan asas efektivitas.
"Jika metode non e-katalog tidak berjalan optimal, seharusnya sejak awal dipertimbangkan penggunaan sistem e-katalog. Ini penting agar pengadaan lebih terarah tanpa perlu mekanisme tambahan seperti PL," tegasnya.
Selain itu, Agus LD mempertanyakan apakah PL yang dilakukan benar-benar sesuai dengan regulasi yang berlaku. Menurutnya, transparansi dalam pengelolaan sisa anggaran menjadi hal krusial agar tidak menimbulkan celah yang berpotensi disalahgunakan.
"Sisa anggaran untuk PL ini harus jelas. Jangan sampai ada potensi penyalahgunaan. Ini soal akuntabilitas pengelolaan dana publik," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti pola pengadaan obat di RSUD Soehadi Prijonegoro yang dinilai tidak efektif. Seharusnya, pengadaan obat dilakukan melalui e-katalog, namun alasan klasik yang selalu muncul adalah keterbatasan jenis obat yang tercantum dalam katalog tersebut. Akibatnya, RSUD menggunakan sistem e-tendering itemized, yang dalam praktiknya tidak optimal.
Ironisnya, sisa anggaran dari tender itemized justru dialihkan ke mekanisme PL, yang dinilai sebagai langkah kurang transparan dan tidak efisien. Agus LD menegaskan bahwa perencanaan pengadaan yang lemah dapat berujung pada ketidakefektifan penggunaan anggaran, bahkan membuka peluang bagi praktik yang merugikan publik.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait