SUKOHARJO,iNewsSragen.id - Keluarga IH, salah satu terdakwa penganiayaan hingga menyebabkan kematian di komplek Perum Safira Dukuh Seneng, Kelurahan Giriwono, Wonogiri, berharap Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo menjatuhkan putusan bebas.
Hal itu disampaikan Kenthut Wahyuni dari kantor hukum Pelita Keadilan Wonogiri selaku kuasa hukum IH usai sidang yang digelar hybrid (daring dan luring) di PN Sukoharjo pada, Rabu (1/3/2023). Agenda sidang mendengarkan keterangan saksi ahli.
"Sidang hari ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya bisa menghadirkan saksi ahli dari RSUD dr Moewardi Surakarta. Ada beberapa hal yang bisa kami simpulkan bahwa kematian korban karena terjadi fraktur atau retak pada tulang pangkal kepala yang bertemu dengan tulang leher," paparnya
Berdasarkan penjelasan saksi ahli tersebut, menurut Kenthut, JPU menyimpulkan bahwa kepala korban tidak mungkin mendapat pukulan dari depan atau dari samping. Keterangan itu membuktikan kemungkinan korban meninggal karena jatuh, atau terjungkal.
"Berdasarkan fakta persidangan ini, maka BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang menyebutkan bahwa korban dipukul dengan herbel beton tidak terbukti. Kalau dipukul dengan herbel, maka yang retak adalah kepala bagian belakang," sebut Kenthut.
Selain itu, Kenthut juga menyampaikan sejumlah kejanggalan BAP yang dibuat penyidik Polres Sukoharjo, salah satunya tidak adanya kesesuaian BAP terkait pakaian yang digunakan terdakwa IH saat kejadian.
"Di BAP, terdakwa saat di TKP disebut memakai jaket jumper celana coklat, padahal faktanya memakai kaos warna hitam (dibuktikan adanya rekaman video saat acara). Jadi terjadi perbedaan," ungkapnya.
Atas kejanggalan itu, Kenthut sepenuhnya menyerahkan kepada hakim untuk menilainya. Dalam perkara ini, IH semula dipanggil menjadi saksi kemudian ditingkatkan menjadi tersangka hingga akhirnya menjadi terdakwa duduk sebagai pesakitan di pengadilan.
"Kami tidak tahu darimana polisi mendapat keterangan jika klien kami ini terlibat sebagai salah satu pelaku penganiayaan. Padahal klien kami sama sekali tidak mengenal korban. Selain itu. ia datang ke acara atas undangan tuan rumah," terang Kenthut.
Sementara, anak perempuan terdakwa IH, Sintya Krisna Wulandari (24) yang hadir di persidangan bersama ibunya (istri IH) menambahkan, bahwa apa yang dituduhkan polisi terhadap ayahnya sama sekali tidak sesuai dengan fakta.
"Ayah semula dipanggil sebagai saksi, tapi langsung ditahan sebagai tersangka berdasarkan pengembangan penyelidikan. Alasannya ada saksi yang menyebut ciri-ciri pelaku penganiayaan tinggi badannya 170 centimeter berambut putih. Padahal ayah tingginya nggak sampai segitu, rambutnya juga tidak putih," ujarnya.
Menurut Sintya, ayahnya tahu ada orang meninggal dalam acara organ tunggal di Perum Safira itu justru dari dirinya. Sintya mengaku mendapat informasi dari media sosial (medsos) yang ramai mengabarkan.
"Dari video yang saya dapat, ayah saat itu datang ke acara sekira pukul 01,00 WIB. Sedangkan kejadian penganiayaan disebutkan sebelum pukul 01.00 WIB, jadi sangat tidak masuk akal jika ayah saya terlibat. Oleh karenanya saya berharap ada keadilan dalam kasus ini, ayah saya tidak bersalah," tegasnya.
Diketahui, dalam perkara penganiayaan yang menyebabkan Alan Suryawan (28), warga Gunung Kukusan, Giriwarno, Kecamatan/ Kabupaten Wonogiri, meninggal dunia itu, semula ditangkap tiga orang tersangka, MTC (20) warga Giripurwo Wonogiri, TNC (23) warga Jendi Wonogiri, dan BS (25) warga Kerjo Karanganyar.
IH dan N diamankan belakangan dengan sangkaan terlibat melakukan pemukulan terhadap korban di tempat kejadian. Sedangkan MTC, TNC, dan BS, diduga melakukan pemukulan dan juga membuang korban di sungai Bengawan Solo di sekitar Jembatan Timang.
Jasad korban ditemukan warga di pinggir Bengawan Solo, masuk wilayah Nguter, Sukoharjo, beberapa hari setelah kejadian, tepatnya ditemukan pada, 16 Juli 2022. Korban sendiri dilaporkan hilang oleh pihak keluarga pada, 12 Juli 2022.
Dalam perkara ini, oleh penyidik Polres Sukoharjo para tersangka dijerat Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUH Pidana dengan ancaman kurungan penjara paling lama 12 tahun, dan atau pasal 351 ayat (3) KUH Pidana dengan ancaman penjara paling lama 7 tahun.
Editor : Joko Piroso