SUKOHARJO,iNewsSragen.id - Seorang warga Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, bernama Gatot Sucipto Hardianto (57), yang merupakan pengusaha sarung tangan karet, harus menderita kerugian luar dalam akibat tindakan Aparat Penegak Hukum (APH) yang tidak profesional.
Pada 2021 lalu, Direktur PT Jannas itu dituduh dan menjadi tersangka atas tindak pidana pelanggaran Undang-Undang (UU) tentang lingkungan hidup yaitu memasukkan limbah non B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) ke wilayah Indonesia.
Dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu, Gatot dijadikan tersangka hanya mendasarkan pada hasil foto dan video call melalui aplikasi WhatsApp. Penyidik tidak datang sendiri ke lokasi.
Setelah melalui penderitaan panjang sebagai tersangka, diantaranya melakoni wajib lapor ke Semarang sebanyak 29 kali, penyitaan barang impor miliknya. Bahkan juga sempat menjadi tahanan sementara di Mapolsek Kartasura, Polres Sukoharjo selama lima bulan. Akhirnya Gatot dinyatakan bebas dari segala dakwaan.
Atas penderitaannya itu, Gatot melalui kuasa hukumnya, Cristiansen Aditya dari Christiansen Aditya I B, S.H M.H & Partners, melakukan gugatan pra peradilan terhadap PPNS KLHK dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo di Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo. Ia menuntut ganti rugi atas kejadian yang dialaminya.
Majelis Hakim PN Sukoharjo dalam sidang putusannya, akhirnya menyatakan bahwa PPNS KLHK serta Kejari Sukoharjo, telah keliru dalam menerapkan hukum terhadap Gatot terkait impor sarung tangan karet dari Malaysia.
"Untuk tuntutan ganti ruginya, tidak dikabulkan. Meski sebenarnya kami kecewa, tapi kami menilai putusan ini sudah baik. Setidaknya bisa menjadi pelajaran bagi aparat penegak hukum agar selalu menerapkan prinsip kehati-hatian," kata Cristiansen usai sidang di PN Sukoharjo, Kamis (15/6/2023).
Dalam perkara itu, Gatot semula dijerat Pasal 105 jo Pasal 69 ayat (1) huruf c jo Pasal 116 ayat (1) huruf b jo Pasal 117 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kini Gatot telah bebas sesuai putusan peradilan Nomor 67/Pid.B/LH/2022/PN Skh.
"Karena penerapan hukum yang salah itu, klien kami dirugikan secara material dan imaterial. Makanya kami mengajukan permohonan ganti kerugian dengan cara pra peradilan di PN Sukoharjo.Termohon I PPNS KLHK dan Termohon 2 yakni, Kejari Sukoharjo," kata Aditya.
Sementara, Suparno yang merupakan rekan Aditya menambahkan, bahwa dalam putusan sidang Praperadilan, Majelis Hakim PN Sukoharjo mengabulkan sebagian permohonan. Untuk permohonan ganti ruginya tidak dikabulkan.
"Permohonan ganti rugi tidak dikabulkan. Meskipun kami bisa membuktikan. Bahwa klien kami jelas mengalami kerugian, karena sarung tangan karet disita, menjadi rusak. Akibatnya usaha yang baru dirintis itu menjadi tidak bisa berjalan. Klien kami mengalami kerugian," ujarnya.
Terpisah, Humas PN Sukoharjo Deni Indrayana saat dikonfirmasi membenarkan bahwa telah digelar sidang putusan pra peradilan tersebut di PN Sukoharjo. Dalam sidang tersebut, Deni juga menjadi hakim tunggal.
"Saya sendiri yang menyidangkan. Hakim tunggal," kata Deni kepada awak media.
Ditegaskan, bahwa inti dari putusan adalah, tuntutan ganti rugi pemohon ditolak. Termohon I dan II dinyatakan melakukan kekeliruan penerapan hukum dalam penuntut terhadap pemohon, dalam perkara ini adalah Gatot.
Editor : Joko Piroso