SUKOHARJO,iNewsSragen.id - Lambatnya proses penyelidikan yang dilakukan Polres Sukoharjo atas laporan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan ayah terhadap anak kandungnya sendiri hingga hamil, membuat geram sejumlah kalangan, termasuk praktisi hukum.
Kasus inses atau hubungan seks sedarah yang beberapa pekan terakhir juga terjadi dibeberapa daerah itu, telah menjadi sorotan luas publik. Mulai dari aktivis, pegiat sosial, hingga legislator, silih berganti angkat bicara menyuarakan empatinya terhadap korban.
Jika membandingkan dengan penanganan kasus inces di wilayah hukum daerah lain, dimana para pelaku tak butuh waktu lama langsung diamankan, namun dalam kasus di Sukoharjo, polisi dinilai kurang profesional dalam memproses laporan korban.
Sejak laporan dibuat pada 2021 lalu, perempuan berinisial G (21) yang melaporkan ayah kandungnya sendiri inisial SW (58), hingga kini belum mendapat kepastian dalam mendapatkan keadilan atas peristiwa kelam yang dialaminya pada saat ia masih berumur 15 tahun.
G melalui kuasa hukumnya, Badrus Zaman, beberapa waktu lalu menyatakan alat bukti untuk menjadikan terlapor sebagai tersangka kekerasan seksual sudah cukup yaitu, anak hasil hubungan inces, dokumen dari rumah sakit bersalin, dan keterangan G sendiri selaku saksi korban.
Menanggapi kasus tersebut, Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Sukoharjo, Dr Song Sip, mengaku prihatin atas lamanya proses penanganan laporan korban di Polres Sukoharjo itu.
"Kalau memang betul terlapor melakukan perbuatan (kekerasan seksual terhadap anak kandungnya sendiri) jelas itu perbuatan yang tidak bisa dimaafkan," kata Song Sip pada, Kamis (29/6/2023).
Ia menyatakan, terlapor yang diketahui merupakan seorang pejabat publik dan sangat paham akan hukum, kelakuannya sama sekali tidak pantas untuk ditiru.
"Ini sangat merusak moral. Apalagi kalau melibatkan orang yang berpendidikan, tentunya tidak bisa menjadi panutan yang baik. Makanya harus dibuktikan," tegas Song Sing.
Menurutnya, untuk membuktikan bahwa terlapor merupakan pelaku kekerasan seksual, maka adanya anak yang disebutkan lahir dari hubungan inces itu, sudah bisa dilakukan upaya paksa terhadap terlapor agar menjalani tes DNA. Tentunya dengan di dahului menaikkan status penyelidikan ke penyidikan.
"Tes DNA juga dilakukan terhadap anak dan korban. Bilamana hasil dari tes DNA itu tidak terbukti, maka polisi bisa menghentikan perkaranya dengan menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan). Namun jika terbukti, maka harus jalan terus. Ini sebenarnya hal yang mudah," ucap Song Sip.
Ia berpendapat, penuntasan perkara tersebut sangat tergantung pada kemauan penyidik di Polres Sukoharjo dalam menyikapinya. Kesan yang terlihat saat ini, penanganan perkara itu tidak ada kejelasan kapan akan di tuntaskan.
"Pihak kepolisian mestinya juga tahu bahwa ini adalah kasus pidana dan telah menimbulkan keresahan masyarakat khususnya di Sukoharjo. Harusnya kepolisian cepat menanggapi, bukan malah dibiarkan. Apakah karena terlapor nggak mau menjalani tes DNA, kemudian kasus ini selesai?," tegasnya.
Jika benar bahwa informasinya terlapor menyatakan keberatan melakukan tes DNA, lanjut Song Sip, mestinya polisi mempertanyakan alasan keberatan itu. Kenapa keberatan?
"Kalau memang tidak pernah berbuat, tentunya tidak mungkin menolak tes DNA. Maka agar mempunyai daya paksa terhadap terlapor, polisi harus meningkatkan statusnya dari lidik ke sidik," terang Song Sip.
Menyinggung soal peristiwa kekerasan seksual itu terjadi antara 2016-2017 saat korban masih kelas 9 SMP, dan baru di laporkan pada 2021, Song Sip menegaskan bahwa peristiwa yang dilaporkan itu belum kadaluarsa.
"Kalau itu perbuatan cabul dan tidak menimbulkan hasil berupa bayi yang dilahirkan korban, mungkin luka lama itu bisa selesai. Terlapor bisa saja mengelak tidak mengakui karena tidak ada bukti.Tapi dalam kasus ini, pelapor telah memiliki seorang anak yang diduga hasil perbuatan terlapor," sebutnya.
Song Sip pun menegaskan bahwa dalam konteks hukum pidana, anak yang dilahirkan oleh korban akibat kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri itu, sudah merupakan alat bukti kejahatan yang valid.
"Ini adalah kasus moral. Saya sebagai orang tua juga geram kalau memang benar itu dilakukan oleh terlapor terhadap anak kandungnya sendiri. Apalagi terlapor ini bergelar Sarjana Hukum (SH) masak memberi contoh yang tidak baik," paparnya.
Selaku Ketua DPC PERADI Sukoharjo, Song Sip mendukung sepenuhnya agar kasus dugaan kekerasan seksual oleh ayah terhadap anak kandungnya sendiri itu bisa segera diselesaikan oleh kepolisian.
"Saya juga mendukung polisi agar bisa segera menuntaskan, karena barang buktinya ada. Ini ketegasan polisi untuk melakukan penegakan hukum sangat ditunggu, tidak saja oleh korban tapi juga oleh masyarakat yang memonitor jalannya kasus ini melalui pemberitaan media massa," imbuhnya.
Sebelumnya, aktivis yang juga advokat BRM Kusumo Putro juga menyampaikan hal senada, bahwa Polres Sukoharjo seperti masuk angin ketika menghadapi terlapor yang merupakan salah satu pejabat publik cukup ternama di Sukoharjo.
"Penanganan kasus seperti ini, seharusnya tidak perlu berlarut-larut. Semua poin ini telah tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana yang dikhususkan untuk perempuan dan anak," kata Kusumo.
Selain itu, lanjutnya, langkah-langkah untuk memastikan perlindungan korban perempuan dan anak juga telah ditetapkan dalam berbagai pengaturan seperti Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 2014 dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Jadi, penyidik Polres Sukoharjo sebagai aparat penegak hukum perlu menelaah kembali dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan korban, perempuan, dan anak sesuai berbagai UU tersebut ketika menangani pelaporan perkara kekerasan seksual," tandas Kusumo.
Terpisah Kapolres Sukoharjo AKBP Sigit saat dikonfirmasi terkait perkembangan proses penanganan kasus tersebut menyatakan, bahwa saat ini masih dalam tahap penyelidikan, belum ditingkatkan ke penyidikan.
"Masih dalam penyelidikan, dan sudah dikenakan wajib lapor (kepada terlapor)," jawab Kapolres melalui pesan singkat WhatsApp.
Editor : Joko Piroso