NGAWI, iNewsSragen.id - Kisah ulang tahun Yayasan Palapa Mendira Harja ke-15 yang berlokasi di Dusun Mendira, Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi, menggelar acara ruwatan massal, baik ruwatan sengkala maupun sukerta, pada Sabtu (5/8/2023) malam.
Acara ruwatan di Tanah Tinangkil, Ngawi ini, tampak sangat menarik dan sarat dengan elemen budaya dan tradisi Jawa.
Momen yang sangat spesial dan penting bagi masyarakat setempat karena acara ruwatan dihadiri oleh Camat Ngrambe, Kusnu Heri Purwanto dan Kepala Desa Sidomulyo, Anto Budiarso. Kehadiran pejabat setempat menunjukkan dukungan dari pemerintah kecamatan dan desa terhadap tradisi dan budaya masyarakat, serta pentingnya melestarikan acara-acara budaya seperti ruwatan.
Camat Ngrambe, Kusnu Heri Purwanto.Foto:iNews/Joko P
Dalam sambutannya Camat Ngrambe, Kusnu Heri Purwanto menyampaikan, partisipasi 200 peserta dari berbagai kota di Sukowati, Magetan, Ngawi, dan Karanganyar (SukoMaNgaKar) juga menunjukkan bahwa acara ini memiliki daya tarik dan relevansi yang luas bagi masyarakat di wilayah sekitarnya. Kehadiran peserta dari berbagai kota dapat memperkaya acara ruwatan dan memperkuat ikatan antar warga dari berbagai latar belakang.
Acara seperti ini dapat menjadi momen penting untuk memperkuat solidaritas dan persatuan di antara masyarakat, serta mempromosikan keberagaman budaya dan tradisi yang ada di daerah tersebut. Semakin banyak orang yang terlibat dalam perayaan budaya seperti ruwatan, semakin besar peluang untuk menjaga dan meneruskan warisan budaya ini ke generasi mendatang.
Semoga acara ruwatan berjalan lancar dan memberikan manfaat bagi semua peserta serta menjadi salah satu cara untuk melestarikan dan menghargai budaya dan tradisi yang kaya di wilayah Sukowati, Magetan, Ngawi, dan Karanganyar, pungkas Camat Ngrambe.
Sementara itu menurut salah satu pengurus Yayasan Palapa Mendira Harja cabang Sragen, Lilik Mardiyanto mengatakan, acara utamanya adalah ruwatan dengan dalang Mbah Padmo Kisowo, yang merupakan keturunan dari Mbah Ronggowarsito, seorang tokoh budaya terkenal dari era Ronggowarsito. Ruwatan ini melibatkan bentuk wayang kuno asli yang sesuai dengan era Ronggowarsito, yang muncul kembali setelah vakum selama 30 tahun.
Dalam cerita wayangnya, dikisahkan tentang kraton Trisaloka, kerajaan milik Bathara Guru dan putranya Wisnu yang sedang mengalami kisruh akibat perbuatan Kolosrenggi.
Munculnya Bathara Narada memberikan penjelasan bahwa mereka berdua adalah sifat yang tetap ada meskipun era berganti, dan mereka kemudian menjelma menjadi Shri Aji Jayabaya yang bertapa di Hargo Sonya, memiliki putra bernama Yugeswara/Mpu Bayun Wukir Bayi, serta Kertanegara. Wisnu kemudian menitis kembali menjadi putra Jaka Lewung/Damarwulan, yaitu Hayam Wuruk, di bawah asuhan Mpu Sara di Saraagen.
Cerita ini melibatkan banyak tokoh dan wilayah di sekitar Sukowati, Magetan, Ngawi, serta Karanganyar, yang menunjukkan kewilayahan status quo yang berkaitan dengan Wisnu dan kewisnuan.
Peserta dan tamu dari berbagai kota di Sukowati, Magetan, Ngawi, dan Karanganyar (SukoMaNgaKar).Foto:iNews/Joko P
Wayang diakhiri dengan pesan dari Kolosrenggi agar Wisnu kembali ke jatidiri dan tak akan diganggu lagi, bahkan akan dilindungi olehnya.
Seluruh cerita wayang ini diambil dari berbagai sumber literasi, seperti Serat Tapel Adam, Sang Hyang Wenang, Wening, Tunggal, dan lainnya, serta serat Wedasasongko 1666. Selain itu, model ruwatan yang digambarkan mirip dengan upacara adat Kolocokro dan laku tirakat Wali Kutuban.
Semua elemen ini menghadirkan cerita yang kaya akan warisan budaya dan tradisi Jawa, serta menunjukkan betapa pentingnya melestarikan dan memahami warisan budaya untuk generasi mendatang.
Acara seperti ini juga bisa menjadi sarana untuk mempererat persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat, serta sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan, pungkas Lilik.
Editor : Joko Piroso