Selanjutnya yang kedua perihal gagasan mengangkat cerita Babad Kartasura melalui wayang kulit, Djuyamto memaparkan bahwa tujuannya adalah untuk menjaga otentifikasi sejarah. Terutama tentang sejarah berdirinya Keraton Kartasura, tentang kejayaan hingga kehancurannya.
"Otentifikasi sejarah Keraton Kartasura ini perlu dijaga melalui literasi secara visual. Karena kalau kita belajar sejarah hanya dari literasi membaca buku, itu banyak yang merasa membosankan terutama bagi generasi milenial. Maka kami memakai media audio visual melalui seni budaya wayang kulit," terang Djuyamto.
Ia pun memastikan bahwa ide dan materi cerita Babad Kartasura tetap menggunakan sumber-sumber maupun literasi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan ontentifikasinya. Bahkan sebelum diputuskan untuk diangkat dalam pagelaran seni wayang kulit, juga melalui diskusi panjang melibatkan ahli sejarah, budayawan, serta akademisi.
"Kita ketahui sejarah Keraton Kartasura ini mulai berdiri sampai runtuhnya diawali dari sekira tahun 1680 sampai tahun 1742, itu rentang waktu yang panjang. Kemudian diangkat ceritanya melalui pertunjukkan wayang kulit dari pukul 21.00 WIB hingga 03.00 WIB, ini kan perlu dikonsep dengan matang. Dipadatkan dengan menggambarkan peristiwa sejarah apa yang paling menonjol di jaman itu," bebernya.
Selain diskusi, ide wayang kulit Babad Kartasura yang digagas Djuyamto sejak tahun lalu itu juga mendasarkan dari berbagai buku sejarah sebagai referensi untuk membuat alur ceritanya, diantaranya buku Babad Tanah Jawa, buku Babad Kartasura, kemudian buku yang ditulis DR.H.J De Graaf tentang Kemelut di Kartasura Abad XVII, dan buku M.C. Ricklefs salah satunya tentang Pangeran Samber Nyawa atau Raden Mas Said.
"Jadi referensi dari buku sejarah itu wajib. Ada yang versi VOC, ada juga yang versi Radya Pustaka. Dari (buku-buku) itu diambil untuk alur cerita, terutama dari sejak Keraton Plered hancur karena diserbu Trunojoyo hingga kemudian Wonokerto atau Kartasura ini dipilih untuk dijadikan keraton, sampai tembok benteng keraton dijebol oleh Raden Mas Garendi (Amangkurat V)," imbuhnya.
Editor : Joko Piroso