Pelestarian Nilai Kebangsaan, Karaton Surakarta Jalankan Amanat SK Mendagri
Simpulan dan Implikasi
Karaton Surakarta Hadiningrat sebagai pewaris Kerajaan Mataram Islam dan Majapahit, telah menorehkan puncak peradaban adiluhung sesuai zamannya. Peradaban itu harus tetap dijaga dan dilestarikan dengan mengedepankan kebersamaan dan kerukunan.
Pasca Sinuhun PB XIII surut, terdapat peluang emas rekonsiliasi secara komprehensif dan mengesampingkan segala perbedaan. SK Mendagri No. 430-2933 Tahun 2017 tertanggal 21 April 2017 memberi pedoman hukum positif.
Setelah Sinuhun PB XIII surut secara hukum hanya Maha Menteri KGPHPA Tedjowulan yang memiliki legitimasi sebagai penerus PB XIII. Karena itu Maha Menteri berhak untuk menyatukan pendapat tentang masa depan Karaton dengan mengumpulkan seluruh putra-putri Sinuhun PB XII dan seluruh putra putri Sinuhun PB XIII. KGPHPA Tedjowulan memiliki legacy sangat tinggi di Kasepuhan Kasunanan Surakarta.
Sebagai pemimpin, KGPHPA Tedjowulan ialah sosok pemimpin inkulsif, kharismatik, tegas, berwibawa, merakyat tetapi low profile sehingga dihormati semua kalangan. KGPHPA Tedjowulan ialah pemimpin lintas generasi yang menjadi saksi sejarah Orde Baru, orde reformasi, gen-X dan gen-Z. Sebagai mantan pejabat militer beliau juga memiliki networking yang sangat luas dari berbagai strata nasional dan internasional.
Momentum rekonsiliasi ini sangat penting maknanya secara internal karaton dan ekstrenal pemerintah. Secara internal, putra putri Sinuhun PB XII dan putra putrid Sinuhun PB XIII bisa disatukan.
Secara eksternal, walikota Solo, Gubernur Jawa Tengah, Mendagri dan Presiden bisa diajak dialog mencari solusi oleh Maha Menteri secara relatif tanpa kendala berarti karena kapasitas Maha Menteri. Di era global, tantangan karaton tidak semata hanya akan menjadi pusat adat dan budaya. Karaton akan menjadi entitas pusat kajian budaya secara global. Karena itu, pemikiran ke depan tentang kepemimpinan yang kuat dan berwawasan geopolitik (meminjam istilah Presiden Prabowo) harus tercermin dalam kepemimpinan tersebut.
Manajemen SDM misalnya, rencana strategis kepemimpinan karaton jangka pendek 10 tahun, menengah 30 tahun dan jangka panjang 100 tahun ke depan harus sudah dibuat dalam strategic planning yang matang. Visi, misi dan tujuan karaton juga harus dipetakan secara berkesinambungan dalam blue print akademik. Maha Menteri sudah sangat tahu persoalan tersebut dan sangat piawai menjalankan manajemen strategis untuk tujuan ini. Maha Menteri juga sudah menyadari karaton bersama masyarakat, maka program-program yang melibatkan masyarakat harus masuk dalam kendali rencana strategis jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Untuk itu, biarlah masyarakat menunggu bagaimana SK Mendagri No. 430-2933 Tahun 2017 tertanggal 21 April 2017 memberikan ruang bagi Maha Menteri untuk menjalankan tugas menyatukan keluarga dan menyusun manajamen strategis karaton.
Maha Menteri yang sudah kenyang di kemiliteran dan ketika memimpin perang anak buahnya tidak pernah ada yang gugur, berangkat perang dan kembali perang jumlahnya tetap utuh sama, tentu sudah sangat mahfum terhadap geopolitik di era global. Jadi tantangan bagaimana membangun masa depan karaton, bagaimana manajemen strategis karaton, manajemen kepemimpinan karaton sebagai induk manajemen SDM dan manajemen keuangan yang handal, peran karaton sebagai entitas budaya global, dan peranan kota Surakarta dalam kerangka NKRI, dan “karaton berbasis rakyat” kita percayakan sepenuhnya kepada Maha Menteri dan para kerabat yang berkompeten sampai tuntas. Suksesi era Maha Menteri KGPHPA Tedjowulan haruslah bisa menciptakan “peradaban kraton era global” yang akan terus berkembang tidak hanya “sakudhuping payung” (selebar payung) tetapi seantero dunia dalam kerangka NKRI, Pancasila, dan dalam kerangka kesatuan Bineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa dalam integrasi di Karaton Surakarta Hadiningrat.
Penulis, Prof Dr. Teguh Budiharso, M.Pd, Ph D, Ph D, DMS, Pemerhati Masalah Sejarah,Sosial Budaya Karaton dan Bahasa dari Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat,Tinggal di Solo, bekerja di UIN Raden Mas Said Surakarta.
Editor : Joko Piroso