SOLO, iNewsSragen.id - Sarkasme adalah penggunaan bahasa yang maknanya mengandung olok- olok, ejekan, sindiran, kepahitan dan celaan getir. Bahasanya lebih kasar dibandingkan dengan gaya bahasa ironi dan sinisme, menyatakan makna yang bertentangan (Poerwadarminta dalam Tarigan, 2013:92).
Sarkasme cenderung mengejek atau menghina seseorang atau sesuatu. biasanya berupa hinaan dan tuduhan yang menggunakan kata-kata kasar. mengungkapkan kemarahan dan kemarahan. Cara bicara seperti ini bisa melukai perasaan seseorang dengan kata-kata pahit yang digunakan. Sarkasme dapat merujuk pada orang atau situasi tertentu. Sarkasme yang paling umum digunakan yaitu sinis, sedikit pahit, sombong dan mungkin sombong. Sarkasme sering digunakan untuk mengejek atau menggoda orang yang serius atau suka bercanda.
Bahkan antara mahasiswa pun juga harus menjaga cara bicaranya, banyak mehasiswa yang menggunakan bahasa tidak santun, bahkan mengarah pada sarkasme disaat berbicara kepada siapapun. Mahasiswa juga harus mengerti batas-batas dalam bertutur kata,baik kepada dosen, atapun orang lain.
Akhir-akhir ini banyak terjadi penyimpangan bahasa di kalangan masyarakat atau di kalangan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang menggunakan bahasa tidak santun, bahkan mengarah pada sarkasme disaat berbicara kepada siapapun. Mahasiswa juga harus mengerti batas-batas dalam bertutur kata, baik kepada dosen, teman sebaya dan masyarakat.
Pasalnya, mahasiswa dalam bergaul masih menggunakan bahasa atau kata sarkasme, yang dimana bahasa yang digunakan itu sangat tidak baik apabila digunakan berbicara dengan teman sebaya, ungkapan yang baristan caci- makian, cemooh, dan merendahkan orang lain sangat mudah Menimbulkan hal-hal negatif, seperti memperenggang tali partemanan antar teman.
Pemakaian bahasa sarkasme ini dapat menyakiti perasaan orang, baik secara Iisan maupun tulisan. Karena bersifat ironis dan tidak sopan, bahasa sarkasme perlu dihindari saat digunakan dalam berbicara kepada dosen, jangan mentang-mentang kita sudah akrab dengan dosen tersebut kita jadi seneaknya dan hilang rasa sopan santun.
Berbagai bentuk penggunaan bahasa yang ironis menunjukkan bahwa hubungan anak muda sangat erat kaitannya dengan sarkasme, karena anak muda itu emosional karena sifatnya yang labil. Remaja memprioritaskan emosi dalam semua bidang kehidupan mereka. Saat emosi muncul, anak muda sulit mengendalikan emosinya dengan cara yang membebaskannya, menggunakan ironi yang melekat pada provokatornya. Sifat emosional anak muda juga mendorong anak muda untuk jujuratau menyembunyikan kebohongan. Sehingga kehilangan kesantunannya.
Penggunaan bahasa sarkastik dapat mempengaruhi harga diri remaja/mahasiswa, ada efek penyalahgunaan sarkasme karena dianggap berdampak buruk pada persahabatan dan dapat saling menyakiti dengan kata-kata yang diucapkan, efeknya dari orang lain.
komentar dari orang yang dapat mempengaruhi seseorang dan bahasa juga mempengaruhi persahabatan dan bahasa kasar biasanya digunakan oleh seorang remaja dengan pergaulan yang buruk, terutama ketika kita siswa telah kehilangan sopan santun dan menggunakan bahasa bahkan untuk menyindir, yang pasti akan dianggap buruk oleh dosen kita.
Kebanyakan orang mungkin menggunakan sarkasme hanya untuk bersenang-senang, tetapi tidak jarang ungkapan sarkastik menyakiti orang lain. Ada juga cara-cara di luar konteks dalam menghadapi sarkasme orang lain, yaitu menanggapi secara harfiah agar kita bisa mematahkan sarkasme tersebut acuh tak acuh, tidak peduli dan tidak menanggapi, serta menyuruh dan mengajar untuk tidak bertindak. Seenaknya dan mengatakan sarkasme yang tidak seharusnya diucapkan.
Dibalik para remaja menggunakan bahasa sarkasme, pasti ada beberapa faktor yang mempengaruhi para remaja tersebut. Berdasarkan pengamatan saat ini, salah satu faktornya adalah membiasakan diri dengan kehidupan sehari-hari. Cara anak muda berkomunikasi dan berbicara mungkin ingin menekankan keberadaan mereka sendiri. mungkin ingin publik mengakui keberadaannya.
Hal tersebut tidak dilakukan dengan sia-sia, tujuan mereka adalah untuk mendapatkan perhatian dan pujian publik, sehingga mereka bisa mendapatkan kebahagiaannya. Sepertinya generasi muda zaman sekarang semakin sulit ditemukan para remaja/mahasiswa yang mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagai contoh, banyak remaja zaman sekarang bermunculan ragam-ragam bahasa yang secara eksplisit bertentangan dengan kaidah-kaidah ketatabahasaan Bahasa Indonesia.
Seperti mahasiswa zaman sekarang sering menggunakan bahasa sarkasme saat berbicara kepada teman temanya mereka asal berbicara tanpa memikirkan perasaan orang lain sehingga secara tidak sengaja hal tersebut menyakiti hati oranglain apalagi ketika mahasiwa tersebut berbicara kepada dosenya sangking sudah akrabnya mereka menjadi hilang rasa sungkan dan sopan snatunya, hal tersebut secara perlahan menghancurkan kaidah Bahasa Indonesia.
Menjadi mahasiswa yang baik kita seharusnya saat berbicara menggunakan bahasa yang sopan, membiasakan diri dengan sapaan, intonasi yang cermat, menghindari kosakata yang kasar dan menggunakan kata-kata seperti maaf, permisi, dan terima kasih. serta kita harus menghindari kata kata yang mengandung sarkasme terhadap teman kita, dosen kita ataupun masyarakat lain.
Hal tersebut juga dapat menguntungkan kita menjadi lebih di pandang positif vibes dan mahasiswa berattitude. Kita harus pandai pandai menggunakan bahasa sarkasme dengan bijak.agar tidak menyakiti hati orang lain apalagi ketika kita berbicara kepada dosen kita harus menggunakan etika dan menghindari bahasa sarkasme dengan baik. Bahasa sarkasme yang digunakan secara berlebihan atau tanpa memperhatikan etika dapat merusak hubungan dan menciptakan permusuhann, apalagi dapat menurunkan value kita.
Maka dari itu kita harus ada kesadaran akan kekuatannya dan penggunaannya yang tepat akan memastikan bahwa sarkasme tetap menjadi sumber hiburan, pemikiran kritis dan kecerdasan dalam komunikasi kita sehari-hari. Jadi, ayo mari kita menjaga keseimbangan antara bahasa sarkasme dan rasa empati terhadap orang lain.
Artikel ini ditulis oleh Fathiyatul Munawaroh. Prodi : Tadris Bahasa Indonesia, UIN Raden Mas Said Surakarta.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait