Diakui Djoko, ketika masih menggunakan aturan lama sebelum UU Cipta Kerja diberlakukan, perizinan berusaha berbasis risiko melibatkan peran serta aparatur pemerintahan daerah secara berjenjang hingga ke tingkat desa.
"Oleh pemerintah pusat, proses mengurus perizinan seperti itu kemudian dievaluasi karena dinilai sebagai birokrasi yang tidak efisien, tidak ramah bagi investor. Sebelumnya kan banyak keluhan dari investor bahwa perizinan di Indonesia itu memang rumit," paparnya.
Disisi lain, imbas dari pemberlakuan aturan baru tersebut juga berdampak besar di internal pemerintahan desa karena sering terjadi konflik antara pengusaha dengan warga desa. Lebih runyam lagi ketika ada pelaku usaha yang tidak punya itikad baik.
"Ketika ada usaha yang berdiri, kemudian ada komplain saat pembangunan, atau ketika proses produksi menimbulkan pencemaran karena limbahnya, terus ada gangguan keamanan, itu komplainnya kan kepada pak Kades," ungkap Djoko.
Dari sosialisasi tersebut, para Kades diberi pemahamanan dan pengarahan jika nanti mendapat komplain atau keluhan warga perihal tempat usaha atau gangguan pembangunan, maka diminta melapor ke dinas atau instansi terkait.
"Nanti dari laporan itu akan kami cek, mulai dari izinnya. Apakah komitmen dari pengusaha ditempat itu sudah terpenuhi. Kalau belum punya izin maka kami minta segera mengurus izinnya. Kalau sudah diarahkan belum juga patuh, baru nanti ada tindakan represif dari bidang penegakan Perda yang turun," tegasnya.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait