Bahkan untuk perjalanan antar kota sekalipun mereka tetap berjalan kaki. Hidup menyatu dengan alam, merupakan kebiasaan Suku Samin sejak dahulu kala.
Maka tidak heran jika masyarakat Suku Samin juga tidak mau memetik buah dari atas pohon sebelum buah itu jatuh sendiri ke tanah. Hidup di tengah hutan Jati, menjadikan masyarakat Suku Samin sebagian besar berprofesi sebagai petani, mulai dari menanam padi, jagung, kacang tanah, dan lain-lain.
Masyarakat Suku Samin juga sudah terbiasa menentang penguasa yang sewenang-wenang sejak pada zaman Belanda. Mereka dikenal selalu menolak membayar pajak dan upeti.
Pada zaman penjajahan, masyarakat Suku Samin menolak saat Belanda hendak mendirikan kebun jati. Tidak sampai di situ, hal ini berlanjut ketika Belanda sudah pergi dari Indonesia.
Masyarakat Samin menolak saat mereka hendak dikuasai protani milik pemerintah. Masyarakat Suku Samin juga menjadikan diri mereka dengan nama ‘Sedulur Sikep’, yang artinya orang-orang yang memiliki sikap, serta punya rasa kemanusiaan yang tinggi.
Mereka tinggal berpencar di tiap desa yang tersebar di Kabupaten Blora, dan kabupaten lain di sekitarnya. Seperti Kabupaten Grobogan, Bojonegoro, Rembang, Pati dan Kudus.
Dalam satu desa biasanya masyarakat Suku Samin Terdiri dari 5 sampai 6 keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, baik terhadap sesama maupun tidak, masyarakat Suku Samin memegang prinsip ‘Saya ada karena kamu, kamu ada karena saya’.
Prinsip tersebut menjadikan masyarakat Suku Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau mengambil hak orang lain, tapi mereka juga tidak mau hak-haknya dirampas.
Di tengah kemajuan zaman saat ini, apalagi di Pulau Jawa, Suku Samin tetap mempertahankan adat dan tradisi. Di sisi lain, suku ini tetap berbaur dengan masyarakat umum.
Jumlah mereka saat ini tidak banyak lagi dan mendiami kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi, yakni Blora, Jawa Tengah, dan Bojonegoro, Jawa Timur.
Suku Samin berawal dari seorang penduduk desa bernama Ki Samin Surosentiko yang lahir di Desa Poso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada 1859. Bagi masyarakat sekitar tempat tinggal, Ki Samin dikenal sebagai sosok mulia.
Editor : Joko Piroso