get app
inews
Aa Text
Read Next : Masa Tenang Pilkada, Panwaslu Grogol Bersama PPK Turun ke Jalan Bersihkan APK

Memetri Punden Kanjeng Nyai Pocung, Tradisi Napak Tilas Putri Kerajaan Pajajaran di Sukoharjo

Minggu, 30 Juli 2023 | 17:29 WIB
header img
Warga kampung Tempuran, Bulakan, Sukoharjo makan bersama dalam acara tradisi Memetri Punden Kanjeng Nyai Pocung. (Foto: iNews/ Nanang SN)

SUKOHARJO, iNewsSragen.id - Dua tahun sempat terhenti lantaran pandemi Covid-19, tradisi Memetri Punden Kanjeng Nyai Pocung oleh warga Kampung Tempuran, Bulakan, Sukoharjo, kembali diselenggarakan pada, Minggu (30/7/2023).

Tradisi merawat tempat yang sangat dihormati itu sudah turun temurun dilakukan sejak sekira tahun 1937. Warga tua muda, laki-laki perempuan berkumpul berdo'a dan makan bersama dari bekal yang dibawa masing - masing. Semua duduk beralaskan tikar di bawah rerimbunan pohon.

Pepohonan di lokasi punden itu diyakini sudah ada sejak ratusan tahun silam. Beberapa yang masih tersisa adalah randu alas, besole, mundu, dan ada satu yang dinilai memiliki aura spiritual yaitu pohon jambu air. Pohon jambu itu telah roboh namun akar dan batangnya masih tertanam di tanah.  

Konon ditempat itu, dahulu pernah disinggahi seorang putri raja dari Kerajaan Pajajaran yang naik rakit dikawal tiga orang abdi mengikuti arus sungai Bengawan Solo. Sang putri yang tidak boleh disebut namanya itu, pergi meninggalkan kerajaan karena menolak dinikahkan.

Tiga abdi yang mengawal putri raja tersebut, masing - masing diceritakan memiliki keahlian. Ada yang ahli bercocok tanam, ahli kanuragan atau bela diri, dan pujangga. 

Rombongan sang putri terhenti lantaran rakitnya tersangkut pohon pocung dan kepoh. Dan, pohon yang membuat rakit putri itu tersangkut kemudian dijadikan nama tempat itu, yakni Punden Kanjeng Nyai Pocung. 

Seiring waktu berjalan, punden itu memiliki banyak cerita mistis. Diantaranya pada jaman perang kemerdekaan pernah dijadikan tempat persembunyian pejuang dari kejaran tentara Belanda. Banyaknya akar pohon berdiameter besar membuat siapa saja yang berada di sana menjadi tidak terlihat.

Bahkan, pada jaman perang kemerdekaan itu, Punden Kanjeng Nyai Pocung juga menjadi tempat aman untuk berlindung dari hujan peluru dan mortir tentara Belanda. Meskipun ada mortir jatuh tapi anehnya tidak sampai meledak.  

Hal itu diceritakan Sabar Satoto (60), salah satu tokoh masyarakat Kampung Tempuran yang mengaku masih menyimpan catatan tentang asal usul tradisi memetri punden beserta sejarahnya.

"Tempat ini berulang kali menyelamatkan warga dari gempuran tentara Belanda. Bahkan pada saat Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh ) semua warga yang laki-laki berhasil selamat dari pembantaian PKI karena bersembunyi disini," papar Sabar.

Atas berbagai peristiwa sejarah yang dialami warga tersebut, maka tradisi syukuran atau memetri punden mulai diselenggarakan. Tepatnya dimulai setelah perang dengan Belanda berakhir.

"Tempat ini juga banyak didatangi warga dari berbagai daerah yang mau melakukan ritual tirakat. Tapi bagi yang mau cari pesugihan tidak bisa di sini. Yang datang kesini berdo'a minta keturunan (anak-Red) juga ada," ungkap Sabar. 

Dijelaskan, penyelenggaran tradisi memetri punden di Kampung Tempuran dilaksanakan setiap tahun pada bulan Suro antara 10-12 Muharram. Rangkain acaranya terdiri, bersih-bersih punden, sholawatan menggunakan alat musik rebana, kenduri dan berdo'a, serta ditutup dengan pagelaran karawitan.

Camat Sukoharjo, Havid Danang Purnomo Widodo yang hadir dalam acara menyampaikan, memetri punden yang diselenggarakan warga Tempuran merupakan bagian dari melestarikan tradisi dan budaya Jawa. 

 

"Ini sebenarnya rutin diselenggarakan, namun sudah lama vakum karena pandemi Covid-19. Lokasinya di pinggir Bengawan Solo merupakan salah satu hutan kota dengan pepohonan yang umurnya ratusan tahun. Tentunya ini perlu dijaga kelestariannya," papar Havid.

Ia pun mengapresiasi atas kembali terselenggaranya tradisi punden tersebut. Warga kompak bergotong-royong menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan acara.

"Tadi ada 'kembul bujono' (makan bersama), warga membawa makanan hasil masakannya sendiri, disajikan disini untuk dimakan bersama-sama. Ini menggandung maksud ajakan untuk sama-sama menjaga kelestarian budaya," pungkas Havid.

Editor : Sugiyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut