get app
inews
Aa Text
Read Next : Presiden Prabowo: Janji Utamakan Kepentingan Rakyat, Termasuk yang Tak Pilih di Pilpres 2024

Warisan Gibran, Harga Tiket Masuk Solo Safari Bikin Warga Sulit Bahagia

Senin, 10 Februari 2025 | 20:17 WIB
header img
BRM Kusumo Putro saat berada di Solo Safari.Foto:iNews/ Istimewa

SOLO,iNewsSragen.id - Solo Safari yang merupakan revitalisasi dari Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) warisan Gibran Rakabuming Raka semasa jadi walikota, harga tiketnya semakin mahal untuk ukuran Kota Solo yang tingkat kemiskinan dan pengangguran warganya masih tinggi.

Keberadaan tempat wisata yang diproyeksikan juga sebagai tempat edukasi satwa itu telah membuat harga bahagia warga Solo semakin mahal. Harga tiket masuknya sangat mahal jika diukur dari kemampuan ekonomi rata - rata warga Kota Bengawan.

Proyek kerjasama dengan Taman Safari Group tersebut, pada awalnya dijanjikan dengan penampilan baru lebih modern dan wahana berbeda. Namun faktanya, kondisi tempat wisata yang menempati lahan sekira 14 hektar itu masih terkesan biasa saja, dengan kata lain tidak sebanding dengan mahalnya harga tiket masuk.

Seperti disampaikan tokoh masyarakat Kota Solo, BRM Kusumo Putro, yang baru saja berkunjung kesana, bahwa Solo Safari bukan tempat wisata yang ramah bagi kantong warga Solo yang berpenghasilan rata-rata masih standar Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK).

"Solo Safari ini kan di gadang-gadang oleh walikota sebelumnya (Gibran-Red) menjadi tempat wisata berstandar internasional melebihi Jatim Park, sehingga diprediksi jumlah pengunjungnya akan naik. Tapi kenyataannya warga Solo sendiri sulit menjangkau harga tiketnya," kata Kusumo, Senin (10/2/2025).

Proyek revitalisasi TSTJ tersebut, menurut Kusumo di awal pembangunannya telah banyak mengorbankan ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sudah lama mengais rejeki dengan berjualan disana. Sekarang mereka tergusur tanpa ada kejelasan nasib dan kelangsungan usahanya terhenti.

"Ada sekira 120 lebih PKL yang semula ada disana. Mereka ini pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang sekarang nasibnya tidak jelas karena tidak ada kepastian apakah masih diperbolehkan berjualan di Solo Safari. Tapi kalau saya lihat, rasanya sulit," ucapnya.

Dalam pandangan Kusumo, Solo Safari yang dibangun dalam tiga tahap dan tahun ini disebut akan memasuki tahap ketiga, tidak berdampak secara signifikan menaikkan tingkat kunjungan wisata di Kota Solo. Selain itu, juga tidak berdampak terhadap peningkatan ekonomi masyarakat sekitarnya.

"Seharusnya, dampak dari pembangunan Solo Safari itu tidak menyingkirkan pelaku usaha kecil atau PKL yang sudah berpuluh-puluh tahun menggantungkan hidupnya dengan berjualan disana. Mestinya mereka ditampung melalui penataan yang baik agar bisa kembali berjualan disitu," ujarnya.

Kusumo mengaku mendengar langsung jerit tangis para PKL eks TSTJ itu dari beberapa diantaranya yang datang menemuinya untuk mengungkapkan keluh kesah setelah terusir tidak boleh berjualan.

"Dengan harga tiket masuk yang terlalu tinggi, Solo Safari ini sepertinya memang bukan diperuntukkan bagi warga Solo sendiri. Contoh, harga tiket premium hari libur saja Rp 110 ribu untuk dewasa dan Rp 80 ribu untuk anak-anak diatas usia 5 tahun," ungkapnya.

Sedangkan harga tiket premium di hari kerja, untuk dewasa Rp 90 ribu dan untuk anak-anak Rp 65 ribu. Paling murah adalah tiket reguler di hari kerja yakni Rp 55 ribu untuk dewasa dan Rp 45 ribu untuk anak-anak. Sedangkan tiket reguler hari libur Rp 75 ribu dewasa, dan Rp 60 ribu anak-anak.

"Melihat harga tiket tersebut, warga Solo seakan-akan hanya bisa menjadi penonton dari luar. Ada Solo Safari yang katanya keren, tapi sulit terjangkau harga tiketnya. Ketika kemarin saya kesana, yang signifikan berubah hanya bangunan di bagian depan, didalam juga ada sedikit perubahan tapi biasa saja," bebernya.

Solo Safari jika dibandingkan dengan Jatim Park, menurut Kusumo yang mengaku juga pernah kesana, sangat jauh sekali jika tolok ukurnya adalah koleksi hewan, tampilan sarana dan prasarananya. Digambarkan, bagaikan langit dan bumi perbedaannya.

"Di Jatim Park itu lebih lengkap koleksi hewannya, contohnya, di Solo Safari koleksi buayanya hanya satu jenis, sedangkan di Jatim Park ada beberapa jenis. Dengan lahan yang sangat luas, Solo Safari ini masih kelihatan kosong sehingga pengunjung hanya capek jalan-jalan saja," ungkapnya.

Atas kondisi Solo Safari saat ini, Kusumo menilai bahwa Pemkot Solo ketika memutuskan melakukan revitalisasi dengan menggandeng Taman Safari Group kurang memikirkan dampaknya bagi masyarakat sekitar. Minimal ada rekrutmen tenaga kerja yang diambil dari warga sekitar.

"Selain itu, dalam hal harga tiket mestinya juga mengakomodir kemampuan ekonomi rata -rata warga Solo. Percuma saja ada tempat wisata megah tapi warganya tidak mampu menikmatinya. Ini menjadi ironis," sambungnya.

Tak hanya itu, selain harga tiket mahal yang mahal, Kusumo juga menyoroti mahalnya harga makanan dan minuman yang dijual didalam area Solo Safari. Untuk satu botol minuman air mineral harganya tiga kali lipat dari harga yang dijual di luar Solo Safari.

"Saya yakin lama-lama banyak orang yang datang ke Solo Safari akan kecewa karena biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan yang didapat. Kemungkinan mereka akan 'kapok' (jera) untuk datang lagi," katanya.

Kusumo berharap terhadap Pemkot Solo dengan kepemimpinan walikota yang baru, bersama DPRD Kota Solo segera melakukan evaluasi ulang konsep Solo Safari. Mengevaluasi perjanjian antara Pemkot Solo dengan pihak ketiga, yakni Taman Safari Group.

"DPRD bisa memanggil walikota bersama pihak ketiga yang ditunjuk mengelola Solo Safari. Minimal sebisa mungkin harga tiketnya diturunkan agar bisa terjangkau oleh warga Solo yang berpenghasilan rendah. Karena mereka juga berhak bahagia," pungkas Kusumo.

Editor : Joko Piroso

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut