get app
inews
Aa Text
Read Next : Pagelaran Wayang Kulit "Tumurune Wahyu Linggo Yoni" di Yayasan Palapa Mandira Harja

Sarasehan Sejarah: Jejak Perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk Sragen Tangguh 2045

Minggu, 16 Februari 2025 | 12:00 WIB
header img
Sarasehan Sejarah dan Budaya yang diadakan Yayasan Palapa Mendira Harja Cabang Sragen, Jawa Tengah, mengambil tema Nilai-nilai Perjuangan Mangkubumi Untuk Sragen Tangguh 2045 di Pendapa Sumonegaran Sragen, Jumat (14/2/2025) malam.Foto:iNews/Joko P

SRAGEN, iNewsSragen.id - Sarasehan Sejarah dan Budaya yang diselenggarakan oleh Yayasan Palapa Mendira Harja Cabang Sragen, Jawa Tengah, mengangkat tema "Nilai-Nilai Perjuangan Mangkubumi untuk Sragen Tangguh 2045". Acara yang digelar di Pendapa Sumonegaran Sragen pada Jumat (14/2/2025) malam ini dihadiri oleh Ketua DPRD Sragen, perwakilan organisasi perangkat daerah (OPD) Kabupaten Sragen, perwakilan camat, desa-desa rintisan desa wisata, serta para pegiat komunitas di Bumi Sukowati.

Ketua Solo Society, Dani Saptoni, memaparkan perjalanan perjuangan Pangeran Mangkubumi di Sukowati (Sragen) berdasarkan catatan dalam Babad Giyanti, Babad Pakunagara, Babad Panambangan, dan Babad Mangkubumi. Ia menyoroti empat wilayah strategis yang pernah disinggahi Pangeran Mangkubumi di Sukowati, yaitu Pandak Karangnongka, Gebang, Jekawal, dan Japoh Jenar. Keempat lokasi ini memainkan peran penting dalam perjuangan Mangkubumi melawan VOC.

Pandak Karangnongka: Awal Konsolidasi

Pandak Karangnongka menjadi tempat pertama di mana Pangeran Mangkubumi menggalang kekuatan. Di sini, ia bertemu dengan tokoh-tokoh penting seperti Rangga Wirasetika, Martawijaya, Jayadirja, Tumenggung Brajamusti, Sutadipura, dan Reksanagara. Di lokasi ini pula, Mangkubumi mendirikan pendapa pesanggrahan, yang kini menjadi bagian dari Kamandungan Kidul Keraton Yogyakarta. Selain itu, ia mempererat aliansi dengan Raden Martapura dan putranya, Tumenggung Suryanagara.

Gebang: Pusat Komunikasi dan Serangan Awal

Atas saran Martapura, Mangkubumi kemudian berpindah ke Gebang. Dari sini, ia mengirim surat kepada tiga saudaranya Pangeran Buminata, Pangeran Singasari, dan Raden Mas Said yang juga tengah berjuang melawan VOC. Dari Gebang pula, pasukan Mangkubumi melancarkan serangan pertama ke Keraton Surakarta dengan kekuatan 100 prajurit berkuda.

Jekawal: Strategi dan Penolakan Perdamaian

Setelah markasnya di Gebang terdeteksi musuh, Pangeran Mangkubumi pindah ke Jekawal, Kecamatan Tangen. Dalam Babad Giyanti, Jekawal disebut juga sebagai Desa Majapahit. Tempat ini memiliki nilai historis penting karena Mangkubumi menetapkan aturan berbusana bagi para abdi dalemnya di sini. Dua utusan dari Semarang sempat datang membawa tawaran perdamaian, tetapi Mangkubumi menolaknya, menunjukkan tekadnya untuk terus berjuang melawan VOC.

Sementara itu, KRT Wijaya Pamungkas dari Kawedanan Parentah Hageng Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat menegaskan bahwa Perjanjian Giyanti yang berlangsung pada 1755 di Dusun Giyanti, Kabupaten Karanganyar, bukan sekadar penanda perpecahan Mataram, melainkan juga sebuah pertemuan penting antara Paku Buwono (PB) III dan pamannya, Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwono I di Yogyakarta.

Meluruskan Narasi Perpecahan

Menurutnya, anggapan bahwa Perjanjian Giyanti menyebabkan kehancuran Mataram adalah narasi yang dikembangkan oleh VOC untuk memperkuat kekuasaannya di Surakarta. Faktanya, setelah perjanjian ditandatangani, PB III dan Pangeran Mangkubumi bertemu di Jatisari, yang membuktikan bahwa hubungan mereka tetap baik dan tidak terjadi benturan kepentingan.

"Perjanjian Giyanti bukanlah tanda kehancuran Mataram. Setelah perjanjian itu ditandatangani, PB III bertemu dengan Pangeran Mangkubumi di Jatisari. Ini menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan di antara mereka. VOC-lah yang menciptakan narasi konflik agar bisa tetap bercokol di Surakarta. Dalam istilah sekarang, ini adalah strategi adu domba atau 'goreng-menggoreng' isu," jelasnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa hubungan antara Solo dan Jogja tetap satu kesatuan, bahkan hingga memiliki hubungan perbesanan. Bukti lainnya adalah masih adanya peninggalan PB VII yang hingga kini tetap dilestarikan di Yogyakarta.

Untuk memperkuat ikatan antara keluarga kerajaan, setiap tahun digelar pertemuan budaya Catur Sagotra, yang melibatkan empat dinasti utama, yakni Keraton Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.

Pangeran Mangkubumi dan Perlawanan terhadap VOC

Wijaya Pamungkas menjelaskan bahwa sejak remaja, Pangeran Mangkubumi sudah hidup dalam lingkungan keraton yang berada di bawah tekanan penjajahan Belanda. Ketidaksukaannya terhadap VOC semakin menjadi ketika PB II kakaknya yang menjadi Raja Keraton Surakarta mempererat hubungan dengan VOC.

Puncaknya, kemarahan Pangeran Mangkubumi meledak saat mengetahui bahwa VOC yang awalnya hanya berdagang, mulai ikut campur dalam urusan pemerintahan.

"Akhirnya, Pangeran Mangkubumi meminta izin kepada PB II untuk meninggalkan Keraton. Orang-orang yang juga tidak suka dengan VOC ikut bergabung dengannya dan bergerak menuju Sukowati. Mereka kemudian berkumpul di kediaman Rangga Prawirasentika di Pandak Karangnongko, dan di sanalah mereka mendirikan pemerintahan perlawanan," paparnya.

Dalam perjalanan perlawanan tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian bergeser ke Kabanaran dan dikenal sebagai Sunan Kabanaran. Peperangan melawan VOC berlangsung selama sembilan tahun hingga akhirnya berakhir dengan Perjanjian Giyanti.

 

Editor : Joko Piroso

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut