get app
inews
Aa Text
Read Next : Anggota Komisi 2 DPR RI Pantau Pelaksanaan CAT Seleksi PPPK di UNS

Polemik Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu, Begini Tanggapan Anggota Komisi II Asal Sukoharjo

Senin, 30 Juni 2025 | 18:49 WIB
header img
Anggota Komisi II DPR RI, Mohammad Toha.Foto:iNews/ Nanang SN

SUKOHARJO,iNewsSragen.id - Anggota Komisi II DPR RI, Mohammad Toha, menanggapi kritis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru perihal pemisahan atau jeda penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah. Menurutnya, MK kadang membuat putusan mengatur.

"MK berwenang melakukan pengujian formil dan materiil. Uji materiil ini sebenarnya sebatas membatalkan atau membiarkan norma hukum itu berlaku (negative legislator). Tapi terkadang MK membuat putusan bersifat mengatur atau membuat norma, ini yang jadi polemik," kata Toha saat dihubungi, Senin (30/6/2025).

Ia menyatakan, kemungkinan maksud MK dalam putusan tersebut adalah bertujuan meninggalkan paradigma pengadilan lama yang bersifat positif legal formalistik, berubah menjadi post-positivisme dengan terobosan hukum untuk menyelaraskan tatanan di masyarakat.

"Namun, MK terkadang mengeluarkan putusan yang kontroversial. Misalnya tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK (dari empat tahun) menjadi lima tahun. Kalau seperti itu, MK sebenarnya mengabaikan batas kewenangannya karena telah menciptakan norma baru," terangnya.

Toha mengungkapkan, pasca putusan MK sejumlah pendapat dari berbagai tokoh masyarakat bermunculan, termasuk antar anggota parlemen. Ada yang berpendapat untuk segera melaksanakan revisi UU Pemilu agar dapat menyesuaikan dengan putusan MK tersebut, namun ada juga yang berpendapat berbeda.

"Kita tahu bahwa MK itu mengawal konstitusi yang menguji UU terhadap UU NRI. Tapi pengujian (tentang jeda Pemilu) ini kontroversial juga, karena bertolak belakang dengan putusan MK sendiri," terang Toha.

Menurut anggota parlemen asal Sukoharjo ini, putusan MK dapat juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan jeda pemilu dengan waktu 2 hingga 2,6 tahun adalah penyelenggaraan bisa tetap lima tahun sekali namun secara berjenjang. Bisa dimulai dari pemilu legislatif (pileg) dulu.

"Penerjemahan keserentakan (pemilu) itu menurut saya adalah tetap lima tahun tapi dengan konsep baru. Misalkan, 2028 pergantian KPU dan Bawaslu, 2029 pileg, 2030 pilpres, 2031 pilkada, 2032 pilkades. Itu, dari pileg, pilpres, hingga pilkada, masing-masing sudah 2 tahun sesuai putusan MK," ujarnya.

Jika merujuk pada putusan MK, Toha berpendapat yang perlu dilaksanakan terlebih dahulu adalah pileg. Alasan pileg lebih dulu dilaksanakan karena akan menjadi landasan bagi penyelenggaraan pilpres.

"Meskipun sekarang pilpres sudah tidak ada ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT), tapi yang penting pileg dulu, kemudian baru pilpres. Ini yang pemilu nasional. Kalau untuk pemilu daerah (pilkada dan DPRD) menyusul satu tahun berikutnya. Tapi saya pesimis jika pilkada dan pileg DPRD dilaksanakan bersamaan, karena tidak akan fokus," pungkasnya.

Diketahui, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK di Jakarta, Kamis (26/6/2025), bahwa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.

Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

Editor : Joko Piroso

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut