Fitri mengatakan, adanya seorang anak yang dilahirkan dari dugaan perbuatan ayah kandung tersebut, mestinya memudahkan aparat kepolisian mengusut laporan, yaitu dengan melakukan tes DNA pada anak yang dilahirkan korban sebagai proses pembuktian.
Sementara jika ada unsur lain, misalnya ancaman hingga pemaksaan yang dianggap sebagai bukti yang kurang, hal itu bisa menjadi bukti untuk memenuhi unsur perbuatan pidananya sudah terlampaui.
"Apalagi jika memakai UU TPKS, korban adalah saksi, dan sah jika hanya dengan satu bukti tambahan, misalnya dengan hasil tes DNA. Jadi, lamanya proses penetapan tersangka bukan berkaitan dengan aturan penegakan hukum melainkan komitmen aparat penegak hukum," tegasnya.
Ia pun menambahkan, dalam kasus itu banyak pihak yang bisa diajak bekerja sama untuk melakukan penegakan hukum seperti pengacara hingga kejaksaan pidana khusus.
Bahkan jika kepolisian menemui kendala, bisa melakukan gelar perkara dan mengajak aparat penegak hukum lainnya, seperti dinas perlindungan anak, lembaga layanan yang melakukan penanganan kasus, hingga akademisi untuk mendiskusikan kasus
“Jangan sampai kesannya kepolisian bekerja melakukan penyelesaian kasus karena desakan dari media,” sambung Fitri.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait