Sementara, Ketua Pembangunan Gereja, Stefanus Marsigit Sri Hartono mengaku, lahan yang akan digunakan untuk mendirikan gereja memiliki luas sekira 4.700 m2. Dalam proses mengurus perizinan sudah berulangkali melakukan komunikasi dengan FKUB. Berbagai persyaratan yang diminta juga sudah dipenuhi dan dilengkapi.
"Dan, bahkan dari FKUB sendiri juga sudah menyatakan bahwa persyaratan yang diminta supaya dilengkapi itu sudah lengkap. Saat ini sebenarnya tinggal menunggu saja (keluarnya izin rekomendasi), tapi kenapa belum keluar?," ujarnya.
Disebutkan, jika mengacu pada Peraturan Bersama Dua Menteri yang dikenal dengan SKB Dua Menteri tahun 2006, saat proses pengajuan izin pada tahun 2013, panitia pembangunan gereja menyerahkan bukti persetujuan warga sekitar lokasi dan dukungan dari jemaat, dengan jumlah sebanyak tiga kali lipat dari yang disyaratkan.
"Dari syarat tanda tangan persetujuan yang diminta minimal 60 orang diluar jemaat, kami bahkan menyerahkan lebih dari itu jumlahnya, total ada 172 orang. Terus setelah pengurus FKUB berganti dengan yang baru, kami diverifikasi dan diminta melengkapi lagi syaratnya, itupun juga kami laksanakan dengan jumlah yang kami serahkan melebihi dari minimal persyaratannya," terang Marsigit.
Suksmono dan Marsigit, menegaskan bahwa terkait dukungan maupun persetujuan warga sekitar lokasi pembangunan gereja, sudah tidak ada persoalan. Pangkal persoalan yang sebenarnya, disebutkan justru di FKUB dan pemerintah daerah yang terkesan diskriminatif terhadap minoritas.
"Ya, harapannya supaya kami diperhatikan juga. Karena jemaat terus berkembang, kami tidak bisa membiarkan berpindah-pindah tempat untuk beribadah. Harus ada tempat yang jelas, karena kalau terus seperti ini tidak baik," tegasnya.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait