Krisis Kedelai Lokal: Petani Merosot, Perajin Tahu Andalkan Impor

Joko Piroso
Perajin tahu masih mengandalkan kedelai impor untuk menjaga kualitas produksi.Foto:iNews/Istimewa

SRAGEN, iNewsSragen.id - Program pemerintah untuk mencapai swasembada pangan, khususnya komoditas kedelai, menghadapi tantangan besar di lapangan. Meski berbagai upaya telah dilakukan mulai dari optimalisasi lahan, penyediaan bibit unggul, hingga dukungan sumber daya manusia—namun minat petani menanam kedelai terus menurun. Situasi ini tampak jelas di sejumlah daerah, termasuk Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, dan Pesisir Barat, Lampung.

Di Sragen, banyak petani memilih menanam komoditas yang dinilai lebih menguntungkan seperti padi, kacang hijau, dan ketela. Mukhtarul Havid, petani asal Desa Peleman, Kecamatan Gemolong, mengungkapkan bahwa kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor yang lebih diminati perajin tahu dan tempe. Menurutnya, harga kedelai lokal memang lebih murah, namun permintaannya hampir tidak ada.

“Kedelai lokal itu murah, tapi gak laku. Perajin lebih suka impor karena rasanya lebih enak dan teksturnya bagus,” ujarnya. Kondisi ini membuat petani enggan mengambil risiko. Di sisi lain, harga padi sedang tinggi sehingga mereka lebih cepat mendapatkan keuntungan. “Sekarang harga padi bisa sampai Rp8.000 per kilogram kalau kering. Jelas lebih menjanjikan,” tambahnya.

Dari sisi pelaku usaha, perajin tahu mengaku lebih memilih kedelai impor karena kualitasnya stabil. Suwolo, perajin tahu asal Sragen Wetan, menuturkan kedelai lokal sebenarnya lebih enak, tetapi daya tahannya rendah. “Kedelai lokal dua hari sudah mulai basi. Kalau impor bisa tiga hari,” jelasnya. Selain itu, kedelai impor lebih kering, tidak mudah berjamur, dan stoknya tersedia sepanjang tahun. Harga kedelai impor saat ini berkisar Rp9.000 per kilogram, sedikit lebih mahal dari kedelai lokal, tetapi dianggap lebih menguntungkan dalam produksi.

Tantangan serupa juga terjadi di Pesisir Barat, Lampung. Muchtar Husin, Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura setempat, menyebut tidak ada lagi petani yang menanam kedelai sejak 2024–2025. Penyebab utamanya adalah tidak adanya jaminan pemasaran serta lemahnya penyerapan hasil panen oleh industri. Padahal kualitas lahan cukup baik dan pernah berhasil dibudidayakan.

“Perajin lebih tertarik memakai kedelai impor. Jadi petani merasa tidak ada jaminan pasarnya,” kata Muchtar. Dari sisi keuntungan, kedelai jauh tertinggal dibanding jagung atau padi. Dengan hasil panen maksimal 1,5 ton per hektare dan harga sekitar Rp8.500 per kilogram, keuntungan kedelai kalah jauh dari jagung yang bisa mencapai 6 ton per hektare dengan harga Rp5.500 sesuai HPP Bulog.

Editor : Joko Piroso

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network