Radikalisme, dijelaskan Amir, adalah sebuah awal dari sikap aksi yang nantinya akan merubah banyak perilaku, baik perilaku bermasyarakat, termasuk perilaku dalam berbangsa dan bernegara.
"Nah, ini yang kami khawatirkan, seperti dibahas dalam pembahasan FGD. Intinya adalah dalam menanggulangi gerakan radikal yang berkamuflase ini diperlukan pendidikan. Sekarang sudah ada salah satunya melalui Kemenag dengan program moderasi beragama di tingkat sekolah," ujarnya.
Amir juga berharap adanya kurikulum tentang moderasi beragama diberlakukan perguruan tinggi. Jika di rezim Orde Baru ada penataran P4, maka sekarang juga harus ada program penggantinya.
"Karena situasi geo poltiknya sekarang berbeda. Jadi soal radikal ini di jaman Orde Baru juga sudah ada, contohnya seperti penangkapan tokoh penandatangan Petisi 50. Kemudian kasus pengeboman Candi Borobudur, itu masuk UU Subversif tapi diawali adanya faham radikal tadi," tegasnya.
Selain menghadirkan pembicara dari Densus 88 AT, FGD kali ini juga menghadirkan narasumber Saifudin Umar alias Abu Fida, eks napiter yang pernah menjadi sosok penting dalam dunia terorisme di Indonesia. Ia pernah di Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII).
Menjawab pertanyaan salah satu peserta FGD tentang awal mula keterlibatannya dalam jaringan terorisme, ia mengatakan, bermula dari kesukaannya membaca buku -buku tentang ilmu agama.
Ia banyak membaca buku-buku literasi diantaranya karya pengarang Muslim, mulai Abu Al-Maududi, Said Hawwa, hingga Hasan. Hobi membaca buku itu makin memuncak hingga memasuki tahun akhir dirinya menempuh pendidikan di Pondok Gontor.
"Dari membaca buku dan pergaulan itu, membawa saya ke pola pemikiran yang sejalan dengan DI dan NII hingga sampai menempuh pendidikan agama di Suriah, melanjutkan di Yordania, Pakistan, dan terakhir di Arab Saudi," pungkas pria kelahiran Surabaya yang pernah mengabdi di Ponpes Al Mukmin Ngruki ini.
Editor : Joko Piroso