SRAGEN, iNewsSragen.id – Kasus penganiayaan santri Pondok Pesantren (Ponpes) Takmirul Islam Sragen, Jawa Tengah yang berujung maut kembali menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Sragen, Jumat (28/4). Penasehat Hukum Pelaku Anak menilai tak selayaknya kliennya menanggung beban sendirian. Karena 2 orang santri lain dan pihak ponpes juga harus bertanggungjawab.
Santri Ponpes Takmirul Islam Sragen, Daffa Wasif Waluyo (15) meninggal setelah mengalami penganiayaan pada November 2022 lalu. Lantas saat ini baru satu tersangka yakni santri lainnya MH(17) yang menjalani proses hukum.
Penasehat Hukum Pelaku Anak MH, Saryoko saat ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Sragen mengatakan, kasus ini tidak berdiri sendiri. Karena peristiwa ini terjadi setelah melaksanakan program Ponpes. ”Kalau program pondok, artinya diakui oleh pondok. Pondok tidak bisa lepas tangan,” katanya.
Fakta hukum yang terungkap di persidangan, kegiatan yang dilakukan oleh 3 orang termasuk pelaku anak MH, sudah minta ijin untuk melakukan tindakan disiplin ke juniornya. Ketika perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa salah satu santri, tetapi beban hanya ditanggung oleh terdakwa seorang diri.
”Tanggungjawab pimpinan pondok secara hirearki, harus ada. Karena dia lalai melaksanakan tugas dan kewajiban. Tidak bisa lepas tangan. Perkara anak dikeluarkan, itu konsekwensi, tapi tidak menyelesaikan persoalan,” jelasnya.
Karena menanggung seorang diri, tidak ada keadilan bagi pelaku anak. Karena saat itu ada 3 orang, yang sudah ijin pada atasannya dan diberikan penerapan penegakan disiplin. ”Kalau ditanggung hanya 1 orang menurut kami tidak adil selaku penasehat hukum,” ujarnya.
Saryoko menambahkan, dua orang dan dari pihak pondok juga harus bertanggungjawab. Karena dianggap turut serta dan karena kelalaian, mengakibatkan hilangnya nyawa. ”Jadi yang dua turut melakukan walau tidak secara langsung, tetapi inisiator tindakan dilakukan 3 orang atas persertujuan pimpinan,”jelas Saryoko.
Editor : Joko Piroso