Dian menambahkan, dalam UU TPKS, penanganan kasus kekerasan seksual sudah cukup dengan keterangan korban dan hasil visum, sudah termasuk alat bukti. Ketika dalam penanganannya membutuhkan bukti tambahan, maka itu tugas penyidik APH untuk menggali bukti lain. Misalnya dengan visum psikiatrikum dan visum et repertum, atau alat bukti petunjuk lainnya, jelasnya.
"Ini bukan bebannya keluarga korban untuk membuktikan. Tapi ini bebannya penyidik. Penggunaan aturan lama (sebelum UU TPKS), bisa juga menjadi pemicu banyaknya kasus kekerasan seksual yang mampet," pungkasnya.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait