Disebutkan, beberapa hal yang menjadi inti tuntutan konsumen MPV antara lain, meminta agar pihak berwenang memasang garis polisi di proyek apartemen yang sudah diketahui bermasalah dan saat ini menjadi obyek sengketa. Alasannya, pasca putusan pailit banyak barang-barang yang hilang.
"Kami juga meminta agar para konsumen yang sudah membayar kredit cicilan namun rekeningnya terkena BI checking, segera ada tindakan dari pihak BTN. Kasihan mereka. Kami tidak mau (penyelesaian) melalui Ombudsmen, karena hanya menampung masalah tanpa ada solusi," ujar Asri.
Dalam perkara itu, Asri juga mempertanyakan keputusan BTN yang berani mengucurkan kredit kepada konsumen tanpa terlebih dulu melakukan penelitian terkait pengembang proyek pembangunan apartemen 12 lantai yang ternyata belum mengantongi izin dari pihak-pihak yang berwenang.
"Kenapa pihak BTN tidak memberitahu kepada para konsumen yang akan melakukan akad kredit bahwa ternyata ada resiko manajemen dan bangunan itu tidak berizin. Bahkan sebagian lahannya masuk kawasan sultan ground (tanah kasultanan)," kata Asri.
Disebutkan, mayoritas konsumen pembeli apartemen MPV melakukan akad kredit pada tahun 2018 - 2019 sedangkan apartemen dibangun tahun 2016. Dalam hal ini BTN dinilai lalai dan patut diduga melakukan pelanggaran lantaran mengucurkan kredit tanpa terlebih dulu memeriksa kelengkapan izin pembangunan dari pengembang.
Mengingat para konsumen sudah cukup lama menderita kerugian akibat gagal memiliki apartemen yang jelas-jelas sudah dibayar angsurannya melalui BTN, maka Asri mendesak BTN segera menyelesaikan permasalahan itu, yakni mengembalikan uang konsumen tanpa harus menunggu lelang pasca putusan pailit, apalagi mencari investor baru.
"Kami tidak mau lagi molor. Tidak mungkin bisa langsung dapat investor. Nilai objeknya saja Rp 153 miliar sedangkan hutang mencapai Rp 400 miliar. Bagaimana bisa dapat investor, apalagi izinnya tidak ada," tegas Asri.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait