Ia juga mempertanyakan logika di balik pelaksanaan uji kompetensi ulang yang tetap membuka peluang bagi peserta baru, padahal orientasi SK hanya "meninjau" perangkat yang telah dilantik.
"Kalau hanya ditinjau, mengapa peserta lain diikutkan? Apakah mereka hanya dijadikan pembanding? Jika benar begitu, maka ini menjadi tidak logis dan rawan merusak keadilan," cetusnya.
Ia menjelaskan bahwa perangkat lama tentu sudah memiliki pengalaman dan pemahaman birokrasi pemerintahan, sesuatu yang tidak dimiliki peserta baru. Sehingga, peluang peserta lain untuk lolos pun secara otomatis menjadi kecil bahkan nyaris mustahil.
Namun, Nico mengingatkan bahwa ini semua bukan semata soal pengalaman atau kemampuan teknis. Yang paling krusial adalah fakta bahwa seleksi awal dilakukan oleh lembaga abal-abal. Jika saja saat itu proses berlangsung adil dan peserta lain yang lolos, maka pengalaman dan kemampuan itu pun bisa berpindah tangan secara sah.
"Ini bukan soal siapa yang paling berpengalaman, tapi siapa yang seharusnya secara sah berhak menduduki jabatan itu jika prosesnya benar sejak awal," tegasnya.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait