Menurut Dwi, persoalan ini bukan sekadar gugatan perdata biasa, tetapi menyangkut etika dan moralitas.
“Penggugat mendampingi tergugat sejak masa honorer. Namun ketika tergugat berada di posisi mapan, penggugat justru ditinggalkan,” tegasnya.
Siti menuntut pembatalan SK PPPK suaminya karena meyakini ada cacat administrasi sejak awal, terutama terkait dugaan pemalsuan keterangan status perkawinan.
Sidang yang bergulir sejak 8 September 2025 diyakini menjadi momentum untuk mengungkap duduk perkara. Namun kuasa hukum mengkritik sikap para turut tergugat yang dinilai lebih membela H ketimbang melakukan klarifikasi internal.
“Mestinya integritas administrasi negara dijaga sejak proses perekrutan. Apalagi ini menyangkut perguruan tinggi negeri di bawah Kemenag,” kata Dwi.
Dwi menegaskan bahwa perkara ini murni PMH sesuai Pasal 1365 KUH Perdata karena saat membuat surat pernyataan, H belum berstatus ASN maupun PPPK. Karena itu, kewenangan mutlak (absolut) berada di Peradilan Umum, yaitu PN Sukoharjo, bukan PTUN.
Tak hanya perdata, tim hukum juga mempertimbangkan langkah pidana.
“Saat ini kami sedang mengumpulkan bukti-buktinya untuk kemungkinan laporan dugaan pernyataan palsu,” ujarnya.
Kasus ini pun menarik perhatian publik karena memadukan drama rumah tangga, dugaan manipulasi administrasi negara, hingga persoalan moralitas rekrutmen PPPK oleh lembaga pendidikan tinggi.
Editor : Joko Piroso
Artikel Terkait
