"Dari situ saya akhirnya berusaha belajar hukum sendiri, cari-cari referensi dari internet di google, jadi saya belajar bagaimana hukum pencemaran nama baik melalui media sosial, hukumannya gimana, gimana pembelaannya, otodidak nggak ada yang ngajarin, jadi saya juga baca eksepsi sendiri nggak pakai pengacara," paparnya.
Menurutnya, langkah ini nekat ia lakukan karena ia merasa tak punya uang untuk membayar jasa pengacara itu. Apalagi pasca Covid-19 usaha jualan gorengannya di sekitar Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama) sepi.
"Nggak kepikiran bayar pengacara, usaha gorengan saya sudah sepi karena Covid, dulu sehari dapat Rp 250 ribu, kena Covid itu cuma dapat 75 ribu, kan anak sekolah banyak yang nggak masuk," ujarnya.
Kini ia terpaksa berjuang seorang diri di persidangan sebab sang suami juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya di sebuah dealer sepeda motor swasta di Kepanjen, Kabupaten Malang. Dian harus membanting tulang mengurus persoalan hukum dan tetap mencari uang tambahan demi tiga anaknya.
"Anak saya yang pertama itu kan kuliah semester 6, ya pasti butuh biaya, yang kedua ini masih sekolah juga kelas 6 SD. Jadi ya apapun dilakuin, sekarang jualannya online di rumah ya biar nambah-nambah uang untuk kebutuhan sehari-hari," jelasnya.
Kini selagi menghadapi proses hukum sebagai terdakwa ujian kembali datang, anaknya yang kedua sakit dan harus masuk rumah sakit karena muntah-muntah. Dirinya mengaku akibat fokus menghadapi persoalan hukum ini, ia sedikit lalai mengurus anaknya sehingga anak keduanya kerap jajan di luar yang berujung sakit.
"Dampak stres, anak tidak keurus, anak masuk RS muntaber, lambungnya luka muntah-muntah. Setelah dari pengadilan ini ke rumah sakit lagi. Saya berharap ini segera selesai dan ada keadilan untuk saya," pungkasnya.
Editor : Joko Piroso