Dalam perkara ini, AN disebutkan Asri membeli dua unit apartemen. Semula unit yang dibeli di Tower Prambanan kemudian ditengah jalan dipindah oleh pengembang di Tower Borobudur. Pembelian apartemen tujuan awalnya untuk tempat tinggal anak AN yang kuliah di Yogyakarta, namun hingga sang anak lulus kuliah dan sekarang sudah bekerja, unit apartemen itu tak kunjung dapat ditempati.
"Yang lebih parahnya lagi, ketika pada sekira 2020 ada putusan pailit, pihak Bank BTN masih terus mengejar setoran cicilan ke klien kami tiap bulannya, dengan besaran sekira Rp 9 juta. Pembayaran cicilan kredit itu mestinya distop dulu karena pengembangnya dinyatakan pailit. Maka dalam kasus ini Bank BTN harus bertanggung jawab. Patut diduga sertifikat yang mestinya sudah diserahkan ke konsumen masih ditahan oleh pihak bank," tegas Asri.
Selain gugatan perdata, Asri mengungkapkan bahwa kliennya bersama para konsumen lain yang juga menjadi korban jual beli apartemen itu akan menempuh jalur hukum pidana dengan melaporkan Bank BTN, pengembang, notaris, dan kurator ke Direktorat Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda DIY. Bahkan juga akan membuat aduan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait Bank BTN.
"Karena setelah ada putusan pailit itu ada konsumen yang cicilannya tidak lancar, kemudian rekeningnya kena BI Checking, yaitu Informasi debitur individual historis yang mencatat lancar atau macetnya pembayaran kredit (kolektibilitas). Ini kan unit apartemennya masih bermasalah, seharusnya pihak Bank BTN stop dulu terima angsuran dari konsumen, bukan malah sebaliknya mengejar terus," pungkasnya.
Editor : Joko Piroso